Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
NILAINISASI ILMU
(Sebuah Upaya Integrasi Ilmu dalam Pembelajaran Sekolah di Era Globalisasi)
Amril M.
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
E-mail: dramril@yahoo.co.id
Abstract
The Valuablenization of Knowledge: An Attempt of Knowledge
Integration in Learning at school in the Era of Globalization:
Valuablenization is part of an attempt of integrating knowledge because the
integration of knowledge means the unity of knowledge and religion. In the
context of this article it means the loss of knowledge dichotomy and religion
so that there is no boundary and classification between science and technology
and moral values and ethics. Therefore, there is a need to have education
which leads the students to appreciate moral values and ethics through the
knowledge they have obtained at school towards morality and ethics that suit
the mission of Islamic education. It is in such a context that there is a need to
have a learning strategy which really brings the internalization of values in the
students methodologically and systematically.
Keywords: Value, Knowledge integration, Globalization
Pendahuluan: Rasionalitas Nilainisasi Ilmu
Dikhotomis ilmu sebagai sebuah problema ilmu saat ini pada dasarnya
tidak dapat dilepaskan dari perspektif keterpilahan dan ketereliminasian sains
dan teknologi dengan nilai, atau sebaliknya. Sedemikian rupa keterpisahan
seperti ini menjadikan segala kinerja sains dan teknologi dengan segala
variannya dalam pengembangannya serta produk yang dihasilkannya benarbenar
sama sekali dibangun dan diaplikasikan tanpa keterikutsertaan nilai-nilai
moral dan etika yang merupakan bagian esensial dari dinamika kehidupan
manusia itu sendiri.
Sedemikian rupa menjadikan Tuhan sebagai penguasa alam jagad raya ini
dan sebagai bagian laten esensialitas manusia tak tersentuh oleh sains dan
teknologi, atau bahkan Tuhan dengan dimensi ilahiyah-nya dan manusia dengan
kemanusiaannya sebagai makhluk termulia di antara lainnya hanya menjadi
objek kalkulasi dan manipulasi sains dan teknologi saja. Demikian pula
lingkungan fisikal dan sosial sebagai locus kiprah eksistensialitas kemuliaan
manusia dan ladang kebahagiaan kehidupannya, ternyata menjadi tempat
pelampiasan ambisi pengembangan sains dan teknologi atas nama geliat
kemajuannya.
Singkatnya kemajuan sains dan teknologi lebih berpihak pada das in
ketimbang das sollen, atau pada facts ketimbang values, pada is ketimbang ought to,
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
bahkan pada pemikiran dan sikap dari ilmuwan tertentu bagian akhir dari
pasangan seperti disebutkan di atas dihapus dalam wacana keilmuan, sehingga
apa yang di kenal dengan “objektivistik (bebas nilai)”, “seeing is believing”,
“isomorfi”, “falsifikasi” dan seumpamanya pada prinsipnya merupakan usaha
epistemic yang sistematis bagi pemisahan sains dan teknologi dari nilai, yang
telah digelar secara masif oleh Francis Bacon (w.1626) dengan semboyannya
“knowledge is power”, dimatangkan dengan “cogito ergo sum“ oleh Rene Decartes
(w.1650) sebagai bapak filsafat modern, selanjutnya “diperanakpinakan” pada
segala lapangan ilmu pengetahuan oleh positvisme dengan hukum tiga tahap
perkembangan manusia sebagaimana yang diajukan oleh Auguste Comte
sebagai tokoh utamanya, yakni a) Tahap teologis, dimana segala sesuatu
disandarkan pada Tuhan, b) Tahap metafisika dimana perbuatan Tuhan yang
personal digantikan oleh prinsip-prinsip metafisis berupa kekuatan abstrak
seperti nature, dan terakhir c) tahap positif ilmiah, dimana manusia berhenti
mencari penyebab absolut baik Tuhan maupun nature dan berkonsentrasi pada
observasi dunia sosial dan fisikal dalam mencari hukum-hukum yang mengatur
mereka. Tahap ketiga ini merupakan tahap kematangan peradaban umat
manusia dimana kita hidup saat ini yang menempatkan sains dan teknologi
sebagai Tuhan dalam kehidupannya.“Savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir”
terjemahan bebasnya “dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi muncul
aksi” sebagai semboyan pamungkas semakin terpilah dan terpisahnya sains dan
teknologi dari nilai yang didengungkan oleh positivisme sebagai pemenang
dalam wacana pemikiran modern.
Akibat epistemic pengembangan ilmu seperti disebutkan di atas,
menjadikan sains dan teknologi dengan mudahnya mengikis dan
menghancurkan nilai-nilai yang justru memiliki fungsi penyangga utama bagi
keberlangsungan eksistensialitas kemuliaan manusia yang tidak akan pernah
sama dengan makhluk lainnya serta melabrak keseimbangan alam yang
dibutuhkan bagi kelangsungan kedamaian dan ketatalaksanaan kehidupan di
alam jagad raya ini, bahkan lebih tragisnya lagi melabrak dan menafikan Tuhan
sebagai penguasa segala realitas dan kehidupan di alam jagad raya ini.
Apa yang dihasilkan oleh peradaban modern dan variannya yang
ditopang oleh pemikiran positivisme seperti di atas, menjadikan
pengembangan ilmu pengetahuan bersifat atomistik, spesifik dan rigid,
sedemikian rupa akan sangat sukar terjadinya penyapaan antar ilmu sekalipun
dalam objek kajian material yang sama. Terlebih-lebih lagi dalam objek kajian
formal dimana menjadikan ilmu semakin terpilah dan terisolasi jauh dari ilmu
lainnya sehingga sangat tidak memungkinkan adanya ketersentuhan antara satu
objek kajian untuk memberikan kontribusi penyempurnaan oleh ilmu tertentu
terhadap ilmu lainnya yang juga memiliki objek kajian yang sama.
Sehubungan dengan gambaran keterpisahan ilmu yang satu dengan ilmu
yang lain, semakin menunjukkan bahwa keterisolasian ilmu dengan nilai
menjadi sesuatu yang teramat mahal untuk dilakukan, karena memang
kerangka epistemic ilmu yang dikembangkan dalam pemikiran modern sangat
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
menggiring dan memungkinkan, langsung atau pun tidak, pada pemisahan ilmu
dan nilai. Bahkan jurang keterpisahan seperti ini, sesungguhnya memang telah
terpolakan dengan keterpisahan sesama ilmu itu sendiri, apalagi dengan nilai
yang nota bene ditempatkan sebagai entitas yang sama sekali berbeda dengan
ilmu.
Dengan demikian, merupakan sesuatu yang sangat musykil melakukan
pengintegrasian sains dan teknologi dengan nilai bila kita masih bersikeras
mengikuti pola-pola epistemologi ilmu-ilmu modern, khususnya dalam upaya
melakukan integrasi ilmu sebagaimana yang tengah dihadapi saat ini.
Kondisi ilmu pengetahuan yang sudah sedemikian parahnya menafikan
nilai tentu akan mendapat kesulitan yang lebih luar biasa lagi ketika dihadapkan
dengan dinamika globalisasi saat ini yang tengah melanda kehidupan
masyarakat dunia saat ini. Dunia dalam era globalisasi dikatakan telah
menghapus segala batas sekat-sekat geografis, etnis dan budaya, sehingga
memberikan kesimpulan para ahli bahwa pada era ini ketergantungan antara
satu negara dengan negara lainnya dalam segala bentuk konsekuensi yang
ditimbulkannya sudah tidak dapat dielakkan lagi. Bahkan sikap ketergantungan
seperti ini tidak jarang pula melahirkan apa yang disebut dengan imperialisme
budaya Barat terhadap budaya negara berkembang dan terbelakang. 1
Sehubungan dengan dinamika perkembangan dunia modern satu sisi dan
globalisasi pada sisi lain, tentu sadar atau tidak, suka ataupun tidak, akan
membawa implikasi dan dampak kepada tatanan nilai, moral dan etika. Nilai,
moral dan etika yang telah dicampakkan dalam perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan pada era modern yang menjadikan kita sangat kuatir akan
kehidupan moral dan etika anak didik, justru pada era globalisasi yang ditandai
dengan terjadi imperialisme dan ketergantungan budaya tanpa lagi mengenal
batas ruang dan waktu tentu semakin memicu lahirnya benturan nilai, moral
dan etika di dalam kehidupan masyarakat. Dalam kondisi seperti inilah sangat
dituntut adanya kemampuan anak didik untuk memilih dan memilah dalam
menentukan nilai moral dan etika tidak hanyut oleh derasnya arus modernisasi
dan globalisasi yang dihadapi oleh anak didik.
Sehubungan dengan problema di atas maka sudah sangat diperlukan
adanya pendidikan yang mengarah pada pengupayaan kemampuan anak didik
dalam mengapresiasi nilai moral dan etika melalui pengetahuan yang
didapatkannya di sekolah kearah terciptanya moralitas dan etika yang sejalan
dengan misi pendidikan Islam. Dalam konteks seperti inilah tentunya
diperlukan suatu strategi pembelajaran yang benar-benar dapat menciptakan
terwujudnya internalisasi nilai dalam diri anak secara metodologis dan
sistematis.
1Ankie M. M Hoogvelt, The Third World in Global Development, (London: Macmillan
Publisher, 1982), hlm. 129. Lihat juga Piotr Sztompka, The sociology of Social Change, Terj.
Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2007), hlm. 102, 108-113.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
Strategi Nilainisasi Ilmu dalam Perspektif Integrasi
Nilainisasi sesungguhnya merupakan bagian dari upaya integrasi ilmu.
Dikatakan demikian mengingat bukankah pada prinsipnya integrasi ilmu
adalah terciptanya kesatuan antara ilmu dengan agama, atau dalam konteks
makna tulisan ini dikatakan hilangnya dikhotomis ilmu dan agama, sehingga
tidak ada batas dan pemilahan antara sains dan teknologi dengan nilai-nilai
moral dan etika.
Berbicara akan ilmu secara mendasar, tentu pendiskusiannya akan terarah
pada hal-hal yang amat fundamental dari ilmu, yakni ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Pendiskusian pada tataran ontologi dari suatu ilmu berarti
membicarakan akan hakikat ilmu itu sendiri yang bertujuan melahirkan suatu
world view ilmu (pandangan dunia tentang ilmu).
Islam dalam hal ini tentunya memiliki pandangan dunia ilmunya sendiri
yang membedakan dirinya dengan yang lain. Artinya penguatan pada ontologi
sangat menentukan dan menjadi pedoman bagi pendiskusian pada
epistemologi dan aksiologi. Ini juga menghendaki betapa pentingnya
pembentukan dan pendiskusian pada tataran ontologi dalam wacana integrasi
ilmu.
Pandangan dunia akan ilmu dalam Islam sesungguhnya tidak akan pernah
terpisahkan dari dimensi ilahiyah. Oleh karena itu Tawhid sebagai bagian yang
amat fundamental dalam Islam secara mendasar menjadi power view dalam
setiap usaha pencarian dan pengembangan ilmu dan pengaplikasiannya.
Kalimat syahadatain sangat menunjukkan bahwa betapa ilmu pengetahuan
dalam perspektif Islam diawali dengan pengetahuan tawhid dimana Tuhan
sebagai objek ilmu pengetahuan yang pertama dan utama mesti diterima oleh
setiap Muslim dalam pengapresiasian tanpa adanya keterpisahan antara knower
dan known seperti yang diajukan oleh Decartes dan pengikutnya. Implikasi
metodis selanjutnya tentu apapun pencarian dan pengembangan ilmu dalam
Islam tidak dapat terlepas dari spektrum dan dimensi tawhid ini. Dalam konteks
inilah dikatakan bahwa Tuhan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dari setiap ilmu pengetahuan baik yang diterima maupun yang akan
dikembangkan. Bahkan keyakinan bahwa semua realitas, termasuk ilmu
pengetahuan yang ada ini merupakan pancaran ilahiyah sebagaimana diungkap
dalam bahasa mistis-teosofis dalam perspektif ontologis ilmu seperti ini adalah
benar adanya, yang sekaligus juga merupakan ontologis pandangan dunia akan
ilmu dari lslam.
Kecuali itu, pandangan dunia akan ilmu seperti ini, juga semakin
mengental bila kita memperhatikan klaim Tuhan bahwa Ia sebagai pengajar
Adam As untuk mengenalkan berbagai nama dari berbagai realitas di
hadapannya, atau salah satu nama dari sifat Tuhan (`Alim). Begitu pula seluruh
alam jagad raya baik fisikal, psikis maupun fenomena sosial, masa lalu atau
sekarang dan akan datang, kesemuanya ini disediakan oleh Tuhan sebagai
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
inspirasi dan motivasi dan sumber untuk tumbuhkembangnya ilmu
pengetahuan.
Tegasnya pandangan dunia mengenai ilmu dalam perspektif Islam tidak
dapat terpisahkan dari dimensi ilahiyah, tidak saja pada posisi dasariah bagi
ilmu pengetahuan, juga sebagai orientasi pengembangan dan pemanfaatan dari
ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa penguatan dan pengupayaan serta
penanaman nilai-nilai ilahiyah sui generis dan reason de entre pada ilmu
pengetahuan dalam wilayah ontologi merupakan sesuatu yang tidak dapat
ditawar dan dilalaikan apa lagi ditiadakan. Bahkan keberhasilan internalisasi
nilai-nilai pada wilayah ini sangat menentukan akan keberhasilan pada dua
wilayah ilmu pengetahuan lainnya dalam konteks terma integralisasi ilmu
melalui nilainisasi.
Begitu pula pada wilayah epistemologi sebagai wilayah yang berkutat
untuk menjawab pertanyaan semisal bagaimana dan sarana apa serta kualitas
akan kevaliditasan instrumen yang digunakan dalam mendapatkan atau
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Dalam perspektif integrasi ilmu via
nilainisasi tentunya tidak bisa dilepaskan dari dimensi nilai-nilai moral dan
etika, termasuk nilai ilahiyah dimana Tuhan sebagai `alim dan manusia sebagai
subjek dan alam dengan segala fenomenanya sebagai objek pencarian dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga ini secara epistemologis bergerak
dalam suatu tatanan gerak organik dan interrelasi, yakni sebuah tatanan gerak
yang satu sama lain memberikan stimulus dan respon bagi yang lainnya dalam
bentuk ketertataan hubungan sirkuler. Sebaliknya bukan dalam bentuk tatanan
hubungan yang mekanistik dan kausalistik yang mana amat niscaya yang satu
akan mendominasi yang lainnya, bahkan mengeliminasi dan menafikan yang
lainnya.
Manusia sebagai subjek pencari, pemaham dan pengembang ilmu
pengetahuan tentunya dituntut, langsung ataupun tidak, mesti mempekerjakan
kemampuan instrumen epistemologinya selalu dalam gerak sirkular epistemic
seperti disebutkan di atas, sedemikian rupa menjadikan manusia akan selalu
menyadari bahwa dirinya hanyalah merupakan sebagaian dari tiga komponen
dalam pencarian dan pengembangan ilmu yang akan dilakukannya. Sedemikian
rupa tentunya juga dalam kinerja epistemologi yang dilakukannya akan selalu
menempatkan nilai-nilai ilahiyah yang mana Tuhan sebagai `Alim dan nilai-nilai
kemanusiaan yang mana dirinya sebagai knower serta nilai-nilai keseimbangan
yang mana alam dengan fenomenanya sebagai known, memiliki nilai-nilainya
sendiri yang tidak dapat diabaikan begitu saja dan terpisahkan satu dengan
lainnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Manusia sebagai produser
yang sekaligus sebagai konsumen tentu akan merasakan fadhilah manakala ilmu
yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam kehidupannya dimuati
dengan nilai-nilai ketiga komponen dalam gerak epistemic ini, sebaliknya
manusia juga akan merasakan mudharat bila mengabaikan salah satunya, apalagi
mendominasikan dan menafikan yang satu atas yang lain. Kinerja
epistemologis seperti yang terakhir inilah yang sangat mudah menafikan dan
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
mendikhotomiskan ilmu pengetahuan dari nilai sebagaimana yang selama ini
dikembangkan oleh pemikiran modern yang melahirkan anak kembar
peradaban yang dimotori oleh epistemologi rasionalisme, emperisme dan
positivisme sebagai pemuncaknya.
Adalah juga merupakan suatu kemestian tentunya memberdayakan tiga
instrumen epistemic yang telah Allah SWT anugerahkan kepada manusia bagi
pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni akal,
indera/pengalaman dan intuisi. Kesemuanya ini sudah semestinya mendapat
perhatian yang seimbang dalam pencarian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dalam konteks integrasi ilmu via nilainisasi ilmu.
Pengalaman epistemologi Barat semisal rasionalisme yang menempatkan
akal sebagai satu-satunya instrumen yang valid untuk mendapatkan dan
mengembangkan ilmu, sesungguhnya telah membawa pada pereduksian dan
soburdinasi nilai pada kemauan dan keinginan subjektivitas manusia sebagai
pusat kebenaran segala-galanya, termasuk kebenaran nilai moral dan etika,
bahkan menuju pada peniadaan nilai-nilai moral dan etika.
Demikian pula epistemologi emperisme yang menempatkan
indera/pengalaman dalam pencarian ilmu pengetahuan semakin mempercepat
pengeliminasian dan pereduksian nilai kepada fakta, yang berakhir peniadaan
sama sekali akan nilai dalam ilmu pengetahuan, bahkan entitas yang pertama
dinafikan keberadaannya dalam wacana epistemologi. Demikian pula
epistemologi lainnya yang lahir sebagai usaha sintesis dari dua aliran
epistemologi disebutkan di atas semisal, kritisisme, pragmatisme, fenomenologi
dan seumpamanya, juga berakhir pada penempatan nilai sebagai sesuatu yang
amat berbeda dengan ilmu pengetahuan. Dan tidak jarang nilai yang diakui,
akan sangat mudahnya menggiring pada nihilisme nilai, karena diawali dengan
pengakuan keberagaman nilai. Konsekuensinya tentu sangat terbuka untuk
mencampakkan nilai dari wacana epistemologis, apa lagi dalam wacana
ontologis, yang tidak saja menilai entitas nilai bukan merupakan bagian dari
ilmu pengetahuan, juga wataknya yang pluralis akan sangat niscaya berujung
pada sikap nihilis yang akhirnya sangat tidak memungkinkan nilai terbawa
masuk ke dalam ilmu pengetahuan sekalipun hanya untuk posisi pelengkap
dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam perspektif nilainisasi ilmu sebagai bagian fundamental integrasi
ilmu, tentunya ketiga instrumen epistemic ilmu seperti disebutkan di atas
diberdayakan sebagaimana ditemui dalam al-Qur`an,2 selanjutnya ditata dalam
suatu kinerja yang saling melengkapi sehingga terjalin dalam bentuk hubungan
tatanan kerja yang organis-sirkuler. Muhammad Iqbal misalnya seorang filosof
Islam kontemporer mengatakan bahwa akal dan indra sebagai alat untuk
mendapatkan kebenaran (ilmu pengetahuan) hendaknya didampingi oleh
fuad/qalb dalam hal ini disebut juga dengan intuisi. Pentingnya kerjasama
ketiga alat epistemologis ini, dikarenakan dalam pencarian ilmu pengetahuan
2 Untuk hal seperti ini misalnya lihat surah as-Sajadah ayat 8-9.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
akal hanya bekerja pada penangkapan tataran lahiri dengan bantuan tanggapan
indera, sementara untuk penangkapan tataran batini, yakni hubungan langsung
dengan sesuatu sebagaimana keberadaan dirinya sendiri dibutuhkan intuisi.
Tiga kekuatan epistemologi ini memang diakui memiliki lahan kajian yang
berbeda, misalnya akal dengan indera hanya mampu menangkap sesuatu
(kebenaran) secara parsial, sedangkan intuisi mampu menangkap sesuatu
(kebenaran) secara total. Begitu pula bila akal dan indera hanya mampu
menatap aspek kesementaraan, sedangkan intuisi mampu menatap aspek
keabadian. Oleh karena itu ketiga kemampuan ini diupayakan saling mengisi
sehingga melahirkan sintesa-sintesa ke arah pencarian akan sesuatu
(kebenaran).3
Begitu pula yang ditampilkan Amin Abdullah, seorang guru besar Filsafat
Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan meminjam perangakat
epistemic Muhammad Abed al-Jabiri, yakni nalar bayani, nalar burhani dan nalar
`irfani, menginginkan pengembangan ilmu dalam Islam semestinya didasari
pada tiga nalar ini dalam suatu tatanan epistemologi yang sirkuler, bukan liner
apa lagi paralel. Bentuk tatanan kerja sirkuler pada upaya epistemologi seperti
ini disebutnya dengan al-Takwil al-Ilmiy, yakni semacam tatanan kerja yang
memanfaatkan gerak putar hermeneutis antara ketiga epistemologi tersebut.4
Dengan model seperti ini ilmu pengetahuan dalam konteks integrasi ilmu via
nilainisasi tentunya perkembangan dan kemajuan ilmu yang dihasilkannya akan
berjalinkelindan dengan kemajuan dan perkembangan nilai dari ilmu
pengetahuan tersebut.
Demikian pula pada wilayah aksiologi sebagai bagian ketiga dari ilmu
pengetahuan yang bekerja untuk menjawab sekitar pertanyaan tentang manfaat
yang dapat diperoleh umat manusia dari ilmu pengetahuan yang didapatnya.
Dalam hubungan aksiologis inilah banyak dijumpai akan betapa pentingnya
ilmu terikat dengan nilai yang mesti terikut di dalam dirinya.
Nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan baik
pada wilayah ontologi maupun epistemologi sesunguhnya berakar dari
implikasi yang tak tertolakkan dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yakni akan
keberadaan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan manusia baik sebagai
produser maupun konsumen. Oleh karena itu sungguh merupakan kekeliruan
besar bila menempatkan ilmu pengetahuan merupakan suatu entitas yang
berdiri sendiri, terlepas dari nilai-nilai moral dan etika sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari eksistensialitas manusia. Sehubungan dengan keterkaitan nilai
dengan ilmu seperti dipaparkan di atas, dapat di mengerti kenapa para ahli
sangat menyepakati bahwa tujuan ilmu pengetahuan itu untuk kepentingan
kebaikan dan kebajikan kehidupan manusia. Untuk hal ini misalnya penulis
3 Muhammad Iqbal., Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: t.p., 1951), hlm.
5-8.
4 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 219-225.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
kemukakan kesepakatan para filosof Muslim tentang manfaat dari sains bagi
manusia. Menurut mereka bahwa peranan dan tujuan sains itu melebihi dari
kemanfaatan praktis dan kemudahan teknis yang ditawarkannya, tetapi dapat
menghantarkan manusia pada kehidupan kesempurnaan nilai spritualnya
sebagai syarat yang mesti dimiliki untuk meraih kebahagiaanya di dunia dan
akhirat.5
Maksud yang hampir sama diungkap pula oleh ilmuwan “umum” saat ini,
misalnya Daoed Yusuf mengatakan bahwa ilmu pengetahuan memang
merupakan suatu kebenaran tersendiri, tetapi otonomi ini tidak dapat diartikan
bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Keterikutan nilai juga dapat dipahami
dari pendapat C A van Pursen yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
secara menyeluruh tidak lepas dari tiga pembahasan; teori pengetahuan, teknik
dan etika. Ketiga unsur ilmu ini berhubungan dan jalin menjalin serta saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya.6
Bila dalam konteks integrasi ilmu, wilayah ontologi dan epistemologi
lebih berorientasi pada pemahaman dan pengapresiasian analitik-metodis
sebagai bentuk upaya akademis yang ingin dipahami dan diterapkan dalam
upaya nilainisasi, maka pada wilayah aksiologi lebih diinginkan pada
pengapresiasian implementatif-preskriptif dari produk suatu ilmu yang telah
dihasilkan melalui pendiskusian pada wilayah ontologi dan epistemologi.
Dengan demikian pendiskusian pada wilayah ini akan mengfokuskan dirinya
sekitar upaya apa dan bagaimana yang mesti dilalui sehingga nilai-nilai moral
dan etika yang telah terjalinkelin dan pada wilayah ontologi dan epistemologi
sebelumnya benar-benar dapat terinternalisasi dalam diri seseorang sebagai
konsumen dan pengembang ilmu tersebut.
Pemetaan wilayah aksiologi pada kawasan seperti diungkap di atas
sesungguhnya tidak di maksudkan bahwa pada kedua wilayah ilmu pertama
sama sekali tidak menghendaki adanya implementasi akan nilai dalam
kehidupan seperti pada wilayah terakhir dari ilmu sebagaimana yang penulis
maksudkan. Tidaklah demikian, karena ketiga wilayah ilmu ini sesunguhnya
tidak berada dalam keterpisahan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga
wilayah ini merupakan satu kesatuan sebagai totalitas dari entitas ilmu itu
sendiri, namun didasari atas pertimbangan praktis dan keterbatasan tujuan
tulisan ini, menjadikan wilayah aksiologi ilmu ini lebih pada pengaplikasian
nilai dari pada konsep ilmu yang telah dihasilkan pada wilayah ontologis
khususnya, dan epistemologis umumnya, sunguhpun pada ontologi sangat
memungkinkan pengupayaan nilainisasi itu ketimbang pada epistemologi.
5 Osman Bakar, “Science” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed).,
History of Islamic Philosophy, II, (London: Routledge, 1996), hlm. 943-944
6 Sri Soeprapto, “Landasan Penelaahan Ilmu” dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat
UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Klaten, Intan Pariwara,
1997), hlm. 52-53.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
Upaya yang sistematis, terprogram dan metodis bagi internalisasi nilai,
tentu sangat dibutuhkan, terlebih lagi upaya seperti ini sangat menuntut
aplikasi nyata sehingga nilai-nilai moral dan etika yang diinginkan untuk
ditumbuhkembangkan dari ilmu pengetahuan yang akan dimiliki atau yang
akan dikembangkan oleh seseorang benar-benar tertampilkan dalam perilaku
senyatanya.
Sehubungan dengan hal di atas, tentu pendidikan atau pembelajaran
sekolah dalam hal ini, merupakan lembaga yang paling siap dan kondusif
untuk menjawab keinginan seperti dikemukakan di atas. Hal ini di karenakan
bukankah substansialitas pendidikan atau pembelajaran sekolah itu
sesungguhnya usaha penumbuhkembangan nilai-nilai moral dan etika hampir
semua para pemikir dan praktisi pendidikan dan pembelajaran sekolah
menyepakatinya. 7
Nilainisasi Ilmu Melalui Pembelajaran Sekolah
Sungguhpun sampai saat ini banyak pengertian pembelajaran yang
ditawarkan oleh para ahli, namun pembelajaran sebagai upaya pengembangan
apa yang di kenal dengan cognitive process atau intellectual skills lebih diterima dan
di inginkan. Hal ini tidak saja lantaran pengertian pembelajaran seperti ini lebih
humanity, tetapi juga lebih membuka keberhasilan anak didik untuk melakukan
transfer ilmu pengetahuan dalam kehidupan nyatanya ke arah yang lebih baik.8
7 Keterjalinan pendidikan dan pembelajaran sekolah dengan nilai-nilai moral dan etika
dapat disimpulkan paling tidak dalam tiga bentuk, yakni 1) keterkaitan substansi sui generis
dan 2) keterkaitan metodologis epistemic dan 3) keterkaitan pembelajaran intellectual skills. Di
maksudkan dengan keterkaitan substansi sui generis adalah keterkaitan yang begitu adanya dan
tiada keterpisahan antara keduanya. Secara terminologis disebutkan bahwa moralitas atau
etika membutuhkan proses pendidikan dalam pengaktualisasian dirinya, sebaliknya
pendidikan membutuhkan moralitas atau etika dalam pengungkapan jati dirinya. Di
maksudkan dengan keterkaitan metodologis epistemic adalah keterkaitan yang tertampilkan
dalam bentuk upaya pencarian dan perumusan akan idealitas dan fungsionalitas pendidikan
itu sendiri. Dalam pewacanaan seperti inilah pendidikan sebagai usaha yang berorientasi pada
kehidupan yang baik dan lebih baik bagi anak didik atau masyarakatnya, pada masa sekarang,
maupun akan datang, sangat membutuhkan semacam usaha berpikir etis yang komprehensif
dan kritis yang secara niscaya mampu memenuhi keinginan jati diri pendidikan tersebut. Di
maksudkan dengan keterkaitan metodis pembelajaran adalah keterkaitan yang menunjukkan
bahwa pengembangan intellectual skills yang berujung lahirnya wisdom sebagai inti pembelajaran
model ini sangat membutuhkan akan nilai-nilai moral dan etika oleh anak didik di saat
mereka akan mentransfer pengetahuan yang diterima dalam kehidupan keseharian mereka.
Untuk tulisan ini akan lebih dikembangkan pada bagian B dari tulisan ini. Pendalaman untuk
topik ini lebih lanjut lihat misalnya Amril M, Etika dan Pendidikan, (Yogyakarta: LSFK2P,
2005), terutama Bab II.
8 Untuk pemahaman lebih lanjut konsep pembelajaran seperti ini dengan berbagai
variannya dapat dibaca Bruce Joyce. dan Marsha Weil., Models of Teaching, (New Jersey:
Prentice / Hall International, Inc, 1986), Bab I,
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
Secara umum pembelajaran pada intellectual skills atau pengembangan
kemampuan kognitif tertuju pada pengetahuan, pemahaman, sikap, minat, dan
segala cita-cita yang baik, yang kemudian dikelompokkan ke dalam
kemampuan kognitif dan afektif. Kesemua kemampuan ini dalam konteks
pembelajaran seperti ini bukanlah apa yang dikenal dengan performances. tetapi
lebih dari itu yakni semacam indikator dari performances tersebut yang sangat
dibutuhkan ketika melihat suatu keberhasilan dari suatu pembelajaran,
meskipun diakui bahwa masih terdapat silang pendapat tentang keberhasilan
dari suatu pembelajaran dengan mengikutkan kawasan affektives dalam
penilaian. 9
Secara akumulatif kemampuan intellectual skills ini tertampilkan pula pada
kemampuan semisal mengobservasi, mengklasifikasi, mengukur,
mengkomunikasikan, memprediksi, menarik kesimpulan, melakukan
percobaan, menformulasikan, dan menginterpretasi sehingga melahirkan pula
pemahaman baru untuk ditransfer dalam kehidupan anak 10
Pendapat di atas menunjukkan bahwa kemampuan intellectual skills ini
tidak akan pernah terlepas dari cognitive knowledge, terutama pengetahuan yang
relevan yang mesti dimiliki anak untuk dapat menunjukkan kemampuan
intellectual skills tersebut. Ini berarti bahwa pembelajaran ala intellectual skills
mesti ditopang oleh kemampuan kognitif.
Terlepas dari silang pendapat mengenai apakah pembelajaran sekolah
mengorientasikan semua aktivitasnya pada dua kawasan pengajaran tersebut,
atau lebih terkonsentrasi pada pengembangan kemampuan kognitif saja
sebagaimana yang tengah berlangsung saat ini yang hampir dilakukan oleh
sekolah-sekolah, ternyata bila ditelaah secara mendalam menunjukkan bahwa
substansialitas pembelajaran sekolah itu teraksentuasi pada wilayah
pengembangan affectivess dengan menunjukkan kemampuan kognitif seperti
yang disebutkan di atas.
Penekanan pada wilayah affectives dalam konteks makna pembelajaran
intellectual skills di sini bukan berarti wilayah cognitives diabaikan, tetapi justru
kemampuan yang terakhir ini akan menopang kemampuan yang pertama.
Tegasnya kematangan kemampuan affectives tidak akan berkembang bila tidak
didukung oleh kematangan cognitives.
Berangakat dari asumsi, yang telah hampir disepakati oleh para ahli dari
dahulu hingga saat ini, bahwa ”all education aims for the future. Instructions is best
when it has maximum transfer or carry-over from one course or level to another or from
school to life…”, maka ilmu pengetahuan yang diberikan di sekolah adalah ilmu
pengetahuan yang fungsional bagi kebaikan dirinya dan masyarakatnya. Ini
berarti bahwa pembelajaran sekolah memiliki tanggung jawab yang amat
menentukan bagi kemajuan dan kebaikan kehidupan anak dan masyarakatnya
9 Robert L. Ebel,” What Are Schools For ? dalam Harvey F.Clarizio. et all, (ed),
Contemporery Issues In Educational Psychology, (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1979), hlm. 6.
10 I b I d, hlm. 8.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
melalui ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Tanpa tercapainya tujuan
sekolah seperti ini berarti pembelajaran sekolah itu gagal.
Dapat pula ditegaskan di sini bahwa pembelajaran seperti ini di arahkan
pada kemampuan anak didik untuk membuat suatu pemahaman baru dari
berbagai informasi, konsep, ide dan pengalaman yang telah diterimanya untuk
kemanfaatan kehidupan mereka yang selalu dihadapkan dengan perubahan
dan perkembangan.
Kemampuan anak didik menghadapi masanya dan mengupayakan
berbuat yang lebih baik dan terbaik serta berusaha menghidarkan diri dari
kesalahan-kesalahan masa lalu untuk berbuat lebih baik pada masa datang
melalui hasil kematangan intellectual skills yang telah dimilikinya, selanjutnya
akan melahirkan apa yang dikenal oleh para filosof dan praktisi pendidik
dengan wisdom, yakni suatu kemampuan yang ditandai mampunya seseorang
melihat dan menciptakan sesuatu yang lebih baik dan terbaik, bernilai pada
masa datang melalui pengetahuan yang telah diperolehnya.11
Sungguhpun hampir disepakati oleh para ahli bahwa wisdom ini secara
esensial tidak sama dengan pengetahuan, namun demikian keberadaannya
sangat ditentukan oleh pengetahuan dan intellectual skills yang telah dimiliki
anak didik. Artinya kekurangan informasi pengetahuan yang diterimanya dan
belum matangannya intellectual skills yang dimiliki anak didik, akan menjadikan
anak kurang memiliki kemampuan untuk melakukan semisal memilih dan
memilah mana yang penting dan terpenting, bernilai dan tak bernilai, baik dan
terbaik ketika melakukan transfer pengetahuan dalam menghadapi problema
riil kehidupannya.
Merujuk pada alur pemikiran di atas tentunya pembelajaran di sekolah
dituntut mengembangkan dan peningkatan intellectual skills yang bermuatan
wisdom, sedemikian rupa kematangan pada yang pertama akan selalu diiringi
dan diwarnai oleh kematangan yang kedua, sehingga transfer pengetahuan
yang dilakukan anak didik akan selalu bermuatan nilai-nilai moral dan etika.
Secara implisit tentunya dikatakan pula bahwa keberhasilan di sekolah
tidak lagi mesti hanya tertuju pada pencapaian performance yang cenderung
mekanistik, verbalistik dan atomistik seperti telah disinggung di atas, tetapi juga
mengikutkan kemampuan transfer pengetahuan yang bermuatan wisdom yang
dilakukan oleh anak didik dalam kehidupan mereka, terutama ketika mereka
dihadapkan dengan problema-problema kehidupan. Penilaian akan
keberhasilan pembelajaran seperti ini amat penting karena pada yang terakhir
inilah sejatinya keberhasilan suatu pembelajaran itu ditemukan.
Memperhatikan akan betapa pentingnya tumbuhkembangnya
kemampuan intellectual skills anak yang bermuatan wisdom sebagai pembelajaran
yang sesungguhnya, maka tentunya, pengetahuan apapun yang dipelajari anak
didik di sekolah tidak dapat dilepaskan dari sentuhan sistem dan metodologi
pendidikan moral dan etika atau pendidikan nilai, karena pendidikan seperti ini,
11 I b I d., hlm. 8
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
pada dasarnya, tidak saja membicarakan apa itu “baik”, “benar”, “semestinya”
baik secara deskriptif ataupun analitik, juga mengupayakan nilai-nilai moral
yang telah dipahami ini terinternalisasi dalam kepribadian anak didik, sehingga
melahirkan perilaku moral dan etika yang cerdas dan berkesadaran, bukan
perilaku moral yang terpaksa dan kehilangan makna yang hanya menempatkan
anak didik sebagai “robot-robot moral”. Di sinilah arti penting dan tidak
terpisahkannya nilai-nilai moral dan etika dalam pembelajaran sekolah.
Dalam konteks pengertian pembelajaran sekolah ala intelektual skills
seperti diuraikan di atas inilah ujaran Lord Bacon sangat mudah untuk
dimengerti. Menurutnya bahwa semua pengetahuan itu mesti lah terikat
dengan nilai moral, namun sayangnya sampai saat ini pengetahuan seperti ini
tidak lagi ditampilkan. Oleh karena itu saat ini yang kita butuh adalah suatu
kriteria yang tidak hanya mengatakan bahwa suatu ilmu pengetahuan itu good,
tetapi lebih penting lagi adalah apa bentuk ilmu pengetahuan yang kita katakan
better dan the best itu.12
Pendapat di atas mengimplisitkan bahwa kurikulum sebagai pedoman
yang sistematis, organisatoris dan terprogram bagi pembelajaran sekolah,
tentunya dalam penataan dari beragam materi pengetahuan yang dimuatkan di
dalamnya, tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral dan etika. Tegasnya
penataan materi pembelajaran sekolah yang dimuatkan dalam sebuah
kurikulum dituntut mengikutkan nilai-nilai moral dan etika apa saja yang
mesti ditampilkan atau yang ingin diraih dari materi yang akan disampaikan
dalam suatu pembelajaran, apakah itu sifatnya langsung, ataupun tidak.
Menjawab persoalan di atas, melahirkan pula pertanyaan baru semisal
mestikah nilai-nilai moral dan etika itu inheren dan eksplisit berada di dalam
kurikulum sebagai pedoman pembelajaran, atau apakah nilai-nilai moral dan
etika itu berada di saat berlangsung interaksi pembelajaran dan penilaian saja
?
Jawaban yang diberikan mengenai bagaimana keterkaitan nilai-nilai moral
dan etika dalam kurikulum, menurut hemat penulis tampil dalam dua
kelompok jawaban, yakni pertama bersifat eksternal subjektif dan kedua
bersifat internal-objektif.
1. Keterkaitan Eksternal-Subjektif
Kelompok pertama ini mengatakan bahwa kaitan nilai-nilai moral dan
etika dalam kurikulum itu sifatnya eksternal-subjektif, berarti tidak diperlukan
secara eksplisit nilai-nilai moral dan etika itu dimuat dalam kurikulum.
Apabila dilacak ke belakang dari perspektif filsafat moral pendapat seperti
ini sesungguhnya berakar dari pemahaman bahwa nilai dari sesuatu itu,
termasuk nilai-nilai moral dan etika, sesungguhnya berada di luar dari sesuatu
12 John S. Brubacher, Modern Philosopies of Education, (New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company, LTD, 1981), hlm. 172-173.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
yang dinilai tersebut, misalnya nilai dari sesuatu itu bisa jadi berasal dari hal-hal
yang sifatnya biologis dan psikologis dari orang yang menilai tersebut.
Berdasarkan alur pikir seperti ini pula, menjadikan kelompok ini
berpendapat bahwa kurikulum tidak mesti secara eksplisit memiliki muatan
nilai-nilai moral dan etika, kecuali dalam pengelolaannya. Tegasnya nilai baru
terrealisasi di dalam suatu lingkungan pendidikan dan pembelajaran, apabila
ada usaha-usaha mengelolanya seketika pembelajaran sedang berlangsungan.
Tanpa adanya usaha ke arah seperti ini, bisa jadi pembelajaran tidak memiliki
muatan nilai moral dan etika sama sekali, baik bagi anak didik maupun bagi
guru.13
Pemikiran tentang nilai dari kelompok seperti ini, juga berakar dari
pemahaman bahwa nilai itu, termasuk nilai-nilai moral dan etika tentunya,
merupakan produk atau hasil dari adanya kaitan antara subjek dan objek.
Dalam pembelajaran tentunya interaksi ini adalah antara kurikulum dengan
suatu peristiwa pembelajaran pada suatu materi pelajaran yang telah dimuatkan
dalam kurikulum. Melalui interaksi inilah nantinya nilai-nilai moral dan etika itu
tampil. Tegasnya dikatakan bahwa nilai-nilai moral dan etika itu merupakan
hasil saripati interaksi antara organisasi kurikulum dan lingkungan, atau antara
kurikulum dan pembelajaran.14 Jadi nilai moral dan etika muncul dan berada di
dalam proses belajar, bukan di dalam diri individu atau di dalam kurikulum
sebelum adanya interaksi pembelajaran yang memang menginginkan adanya
nilai dalam pembelajaran tersebut seperti yang diajukan oleh kelompok kedua
sebagaimanan yang akan diuraikan di bawah nanti. Dalam alur seperti inilah
nilai itu sangat jarang dikenal sebagai bentuk yang diketahui, tetapi nilai itu
lebih dalam bentuk sesuatu yang dirasakan.15
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengajarkan suatu nilai
moral dan etika sesungguhnya bukanlah mengajarkan nilai itu dalam bentuk
yang berdiri sendiri sebagaimana lazimnya dalam mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan, akan tetapi pengajaran akan suatu kebenaran dari nilai-nilai
moral dan etika sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran itu sendiri.
Dalam pembelajaran seperti ini, guru sangat dituntut untuk memperkenalkan
nilai moral dan etika serta memasukkan nilai-nilai ini ke dalam setiap materi
pelajaran anak didik mereka berdasarkan antusias personal mereka masingmasing.
Dengan kata lain dapat dikatakan pula bahwa nilai moral dan etika yang
dipahami anak didik adalah berasal dari materi yang mereka pelajari dalam
aktivitas pembelajaran mereka. Nilai-nilai moral dan etika ini sedemikian rupa
bukan dalam bentuk sesuatu yang diberitahukan kepada anak didik melalui
kurikulum yang telah dirancang sebelumnya untuk pengajaran nilai moral bagi
mereka, akan tetapi nilai-nilai moral dan etika yang akan tampil sebagai hasil
13 I b i d., hlm. 173
14 I b i d., hlm. 174.
15 I b i d.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
dari interaksi pembelajaran itu diserahkan sepenuhnya kepada anak didik dan
guru sesuai kebutuhan anak didik tanpa direncanakan dan ditampilkan secara
eksplisit di dalam kurukulum.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa bagi kelompok eksternalsubjektif
nilai-nilai moral dan etika itu tidak perlu ditampilkan secara eksplisit
dalam suatu penataan kurikulum yang baku dalam setiap materi pengetahuan
pembelajaran, tetapi nilai-nilai ini cukup tampil ketika proses interaksi
pembelajaran berlangsung. Dalam hal ini dapat pula dikatakan bahwa nilai-nilai
moral dan etika ini tampil dalam pembelajaran ketika adanya kesepakatan yang
tidak langsung antara anak didik dan guru mengenai nilai-nilai apa saja yang
memungkinkan untuk diambil dari suatu pembelajaran pengetahuan tertentu
ketika pembelajaran itu berlangsung.
Diskusi akan nilai-nilai moral dan etika ini muncul seketika tanpa adanya
persiapan terlebih dahulu dari anak didik dan guru. Kesimpulan terhadap nilainilai
moral dan etika yang akan diambil dari materi pengetahuan yang sedang
berlangsung sangat tergantung pada kemampuan dan penguasaan guru dan
anak didiknya. Misalkan seorang guru yang memiliki kemampuan akan nilainilai
moral dan etika yang tergolong baik serta memiliki kemampuan untuk
merelevansikan pengetahuan yang tengah diberikannya, maka saripati nilai
akan terambil dari interaksi pembelajaran dari pengetahuan tersebut akan
tergolong baik pula sekalipun kualitasnya masih dipertanyakan, sebaliknya sari
pati nilai-nilai moral dan etika yang diambil akan tergolong tdak baik apa bila
guru yang mengajar kurang memiliki apresiasi nilai-nilai moral dan etika dari
suatu pembelajaran pengetahuan yang tengah diajarkannya, sehingga nilai-nilai
moral dan etika yang terambil ini bisa saja akan lenyap begitu saja, atau
menyimpang dari nilai-nilai yang sesungguhnya.
Pembelajaran nilai-nilai moral dan etika dalam suatu interaksi
pembelajaran dari pengetahuan yang diberikan akan sangat bersifat pragmatis.
Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang diambil dari hasil interaksi pembelajaran
materi pengetahuan tertentu lebih merupakan kebutuhan sesaat. Akibatnya
sulit mengharapkan tampilnya nilai-nilai yang secara niscaya membuka
peluang untuk dapat diterima oleh orang lain, apa lagi diharapkan sebagai
standar nilai ideal untuk semua orang.
Terlepas dari kekurangan yang ditemukan dari model pembelajaran nilainilai
moral dan etika seperti di uraikan di atas sebagai implementasi dari
pendapat kelompok ini, maka yang pasti model pembelajarannya akan sangat
membuka pada pencarian dan penelaahan materi pengetahuan yang tengah
diajarkan dengan nilai-nilai moral dan etika yang sangat dibutuhkan oleh
tuntutan masa di mana anak didik hidup di dalamnya. Diskusi nilai-nilai moral
dan etika dari suatu pembelajaran pada materi pengetahuan tertentu akan
sangat terbuka untuk dikaitkan dengan problema moral yang tengah dihadapi
anak baik secara personal maupun sosial.
2. Keterkaitan Internal-Objektif
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
Berbeda dengan pendapat di atas, kelompok kedua ini mengatakan
bahwa keterkaitan nilai dan kurikulum itu dalam bentuk internal-objektif. Di
maksudkan bahwa nilai dari sesuatu itu bersifat internal, karena nilai itu bukan
lagi berada di dalam diri individu penilai, tetapi berada di dalam realitas yang
dinilai. Sedangkan bersifat objektif bahwa nilai dari realitas yang dinilai itu
diakui dan dirujuk oleh semua individu dalam aktivitas pembelajaran.
Sedemikian rupa menjadikan kelompok ini tidak menyetujui bahwa nilai itu
hanya urusan pribadi semata seperti pendapat kelompok pertama. Tegasnya
nilai-nilai moral dan etika itu benar-benar ditampilkan secara ekplisit di dalam
penataan dan perencanaan kurikulum dari setiap materi yang akan diajarkan.
Kelompok kedua ini juga berpendapat bahwa hakekat nilai moral dan
etika itu benar-benar ada. Nilai moral dan etika itu benar-benar riil sama
seperti keberadaan hukum-hukum alam yang kita yakini. Keyakinan kelompok
ini didasarkan atas alasan bahwa segala sesuatu memiliki bentuk dan tujuan.
Seorang ahli kayu yang terlatih misalnya akan menjadikan sepotong kayu
dalam bentuk-bentuk tertentu seperti meja, kursi dan bangku. Dalam hal ini si
tukang kayu memberi bentuk bahan-bahan mentah ini dalam bentuk-bentuk
tertentu. Bentuk-bentuk yang diciptakan oleh tukang kayu ini mengarah pada
tujuan dan nilai. Jadi nilai moral dan etika itu sesungguhnya berada di dalam
objek itu sendiri. Nilai itu objektif dan menjadi bagian yang inheren dari suatu
objek yang dinilai itu.
Sehubungan dengan kurikulum, tentunya nilai moral dan etika itu secara
eksplisit menjadi bagian dari kurikulum. Tegasnya nilai moral itu menjadi
bagian dari setiap subject meters yang termuat pada kurikulum itu. Jadi kurikulum
mesti mempertimbangkan dan mengupayakan nilai moral dan etika dalam
kurikulum secara eksplisit. Sedemikian rupa nilai moral dan etika ini tidak lagi
menjadi urusan orang perorang, guru dan anak didik ketika pembelajaran
berlangsung sebagaimana yang diajukan oleh kelompok pertama di atas, tetapi
menjadi kepentingan bersama yang ditampilkan secara eksplisit pada
kurikulum.
Tegasnya dapat dikatakan bahwa nilai-nilai moral dan etika menurut
kelompok kedua ini, merupakan sesuatu yang mesti ada tampil dalam setiap
materi pelajaran yang telah dimuatkan dalam kurikulum. Nilai-nilai moral dan
etika ini dapat dikatakan pula merupakan sebagai bentuk dan tujuan dari setiap
materi pelajaran dalam suatu pembelajaran yang telah ditentukan oleh
kurikulum.
Singkatnya dari model pembelajaran seperti ini, tentu tuntutan
pemahaman dan penguasaan dari setiap materi pengetahuan yang diajarkan di
sekolah diberlakukan pula pada pemahaman dan penguasaan nilai-nilai moral
dan etika yang terkandung pada materi pengetahuan tersebut secara eksplisit,
sehingga kemampuan anak didik nantinya tidak hanya sebatas mengetahui dan
menguasai materi pengetahuan yang dipelajarinya, tetapi juga menguasai dan
mengapresiasi nilai-nilai moral dan etika yang termuat di dalamnya sebagai
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
bentuk satu kesatuan utuh pembelajaran seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya.
Hanya saja yang perlu diwaspadai sebagai bentuk kekurangan dari model
pembelajaran yang berangkat dari pendapat bahwa nilai-nilai itu bersifat
internal-objektif seperti ini akan sangat terbuka pembelajarannya ke arah
indokrinatif dan preskriptif, sehingga tidak ada ruang untuk mendiskusikan
nilai-nilai yang telah ditampilkan secara eksplisit di dalam kurikulum ke arah
yang lebih terbuka dan terbaik. Untuk menghindari hal seperti ini perlu
dikembangkan pembelajaran nilai yang menyentuh nilai-nilai yang hidup di
tengah-tengah masyarakat atau problema nilai yang sedang dihadapi anak didik
itu sendiri baik personal maupun sosial
Dengan mencantumkan nilai-nilai moral dan etika secara eksplisit di
dalam kurikulum dari setiap materi pembelajaran yang akan diajarkan,
menjadikan interaksi dalam pembelajaran itu akan sangat terarah. Sedemikian
rupa transfer pengetahuan yang dilakukan oleh anak didik dari pengetahuan
yang didapatnya dalam kehidupannya benar-benar hasil dari kematangan
intellectual skills yang dimuati oleh kematangan wisdom sebagai hasil kemampuan
anak didik mengambil nilai-nilai moral dan etika dari materi yang dipelajarinya.
Tegasnya model pembelajaran seperti ini akan menjawab makna
sesunguh-nya dari konsep pembelajaran seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, sehingga anak didik dan guru akan selalu terarah pada suatu
kebaikan dari setiap pengetahuan yang diterimanya, tanpa lagi harus mencari
nilai-nilai moral dan etika apa yang dapat diambil dari pegetahuan yang
dipelajarinya ketika pembelajaran itu berlangsung.
Metodologi dan Disain Nilainisasi Ilmu dalam Pembelajaran
1) Values Clarification: Sebagai Sebuah Pendekatan Pembelajaran
Nilainisasi
Berangkat dari konsep pembelajaran intellectual skills yang berupaya
terwujudnya transfer ilmu pengetahuan dalam kehidupan anak didik melalui
dukungan kemampuan kognitif ke arah kematangan kemampuan affektif yang
tertampilkannya wisdom pada anak didik, tentunya diperlukan semacam sebuah
metodologis pembelajaran yang benar-benar dapat mendukung pembelajaran
seperti ini, sehingga dapat mengakomodasi semaksimal mungkin apa yang
diinginkan oleh pembelajaran model intellectual skills ini.
Menurut hemat penulis apa yang dikenal values clarification cukup mampu
untuk menjawab kepentingan pembelajaran intellectual skills seperti diutarakan
di atas. Hal ini dikarenakan values clarification, sebuah pendekatan dalam
pembelajaran nilai, yang prinsip kerjanya sangat mendukung terbentuknya
kemampuan-kemampuan proses kognitif yang dinginkan dalam model
pembelajaran intelektual skills sebagaimana telah diungkap di atas.
Prinsip kerja metodis dari values clarification ini adalah 1) choosing:
kebebasan, berbagai pilihan, menganalisis secara seksama terhadap segala
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
konsekuensi dari setiap pilihan, 2) Prizing; merasa senang atas pilihan, bersedia
menerima pilihan yang telah ditetapkan, 3). Acting; dengan kesadaran sendiri
melakukan sesuatu berdasarkan pilihan yang telah ditetapkan, mengulangulangnya
dalam kehidupan. 16
Melalui pendekatan pembelajaran nilai values clarification ini, sebagaimana
ujaran penggagasnya, bahwa anak didik akan sangat terbantu mendapatkan
kejelasan tantang nilai-nilai yang boleh jadi selama ini belum diketahuinya, atau
membingungkannya, atau ketiadakonsistenannya terhadap suatu nilai, maka
dengan pendekatan ini anak didik atau seseorang akan mampu merefleksikan
dan berpikir secara kritis dan komprehensif terhadap problema fenomena
nilai-nilai moral dan etika baik yang dihadapinya secara personal ataupun
komunal.17
Melalui pematangan prinsip kerja values clarification ini kepada anak didik,
menjadikan mereka memiliki kemampuan apresiasi yang tinggi terhadap suatu
nilai-nilai moral dan etika yang telah didapatinya, kemudian secara sadar, tanpa
paksaan dari luar dirinya, mentransfer nilai-nilai tersebut dalam aktivitas
kesehariannya dan masyarakatnya. Dalam pengertian seperti inilah penulis
maksud dengan internalisasi nilai.18
Internalisasi nilai melalui values clarification, akan memposisikan anak didik
sebagai subjek aktif-kreatif dan kritis-reflektif dalam upaya menumbuhkembangkan
nilai-nilai moral dan etika yang lebih baik dan bajik yang terjalin
dalam kehidupan kesehariannya secara pribadi dan sosial.
Berbeda dengan pembelajaran nilai yang indokrinatif,19 klarifikasi nilai
yang mengutamakan pendekatan rasio dalam pembelajaran dimana anak didik
dituntut mampu memilah-milah dari sekian banyak keputusan atau opini moral
tentang sesuatu persoalan moral atau konflik nilai yang dirasakannya.
Klarifikasi nilai tidak menginginkan dari pilihan-pilihan nilai tersebut hanya
16 Lihat lebih lanjut misalnya, Jack R. Fraenkel, How to Teach About Values: an Analytic
Approach, (New Jersey, Prentice-Hall, Inc, 1977), hlm. 47-48.
17 Louis E. Raths, Merrill Harmil, dan Sidney B. Simon, Values and Teaching, (Ohio,
Charles E. Merrill, 1978), hlm. 8.
18 Pemahaman lebih lanjut akan internalisasi nilai misalnya lihat Amril M., Etika dan
Pendidikan, hlm. 110-117, Sidney B. Simon dan Polly de Sherbinin “ Values Clarification: It
Can Start Getly and Grow Deep, dalam Harvey F. Clarizio et all., (ed), Contemporary Issues in
Educational Psychology, (Boston, Allyn and Bacon, Inc,1977), hlm. 64-70.
19 Pendidikan nilai dalam bentuk indokrinatif biasanya tampil dalam bentuk
penanaman nilai-nilai moral “bag of virtues” yang mesti dikuasai dan dipraktekkan anak tanpa
mempertimbangkan kemampuan perkembangan internal psikis anak dan perkembangan
historisitas anak. Aplikasinya dalam bentuk formalis, otoritatif, represif dan tekstualis. Secara
metodis pembelajarannya dirangkum dalam metode semisal keteladanan yang kaku,
pembiasaan makanistik, hukuman dan ganjaran dan seumpamanya. Lihat lebih lanjut
misalnya Amril M “ Moralitas Keagamaan dalam Pendidikan ( Sebuah Rekonstruksi
Metodologis-Aplikatif di Sekolah)” dalam AL-TA`LIM (Jurnal Pemikiran Islam dan
Kependidikan) , Vol. XI No. 15 th. 2004, Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, hlm.
75-94.
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
dalam wacana debat diskusi teoritis semata, tetapi berusaha menumbuhkan
kesadaran diri dalan diri anak akan nilai-nilai moral dan etika yang dipilihnya
sebagai tujuan yang ingin diraihnya.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai melaui
pemanfaatan pendekatan klarifikasi nilai ini dalam pembelajaran adalah
mengupayakan tumbuhnya kesadaran nilai-nilai moral dan etika dalam diri
anak berdasarkan refleksi kritis etisnya terhadap nilai-nilai moral dan etika yang
tengah dihadapinya, sedemikian rupa dari hasil pemikirannya seperti ini akan
melahirkan suatu keyakinan akan kebenaran suatu nilai moral dan etika untuk
kebaikan dan kebajikan kehidupannya baik dengan lingkungan sosialnya
maupun dengan Tuhannya. Dalam klarifikasi nilai biasanya bukan pada
pencarian benar atau salah, tetapi mencari yang terbaik dari sekian banyak
pilihan, sehingga boleh jadi memunculkan jawaban yang beragam dari
persoalan-persoalan moral yang diberikan oleh anak didik. Dalam hal seperti
ini peranan guru dan materi yang disajikan dalam kurikulum sangat
menentukan ke arah penemuan pilihan nilai-nilai moral dan etika yang
sesungguhnya. Di sinilah sekali lagi pentingnya secara eksplisit nilai-nilai moral
dan etika itu tampil di dalam kurikulum.
Sehubungan dengan muara akhir dari model pembelajaran intellectual skills
adalah hendak menciptakan anak didik yang mampu mentransfer ilmu
pengetahuan yang bernuansa wisdom dalam kehidupan kesehariannya, maka
dapat dikatakan bahwa pendekatan values clarification mampu memberikan
kematangan wisdom yang sangat dibutuhkan anak didik dalam upaya mereka
mentransfer ilmu pengetahuan tersebut, sehingga menjadikan ilmu
pengetahuan yang telah diterima anak didik memiliki kematangan
epistemologis - metodologis yang sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri, juga, yang tak kalah pentingnya, bernar-benar
memiliki misi aksiologis-etis yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat
manusia.
2) Desain Pembelajaran Nilainisasi
Dalam praktek pembelajaran di sekolah, paling tidak implementasi
pembelajaran nilainisasi tergambar dalam desain pembelajaran. Pentingnya
desain pembelajaran ini mengingat mengajar adalah aktivitas bertujuan. Desain
pembalajaran dalam hal ini pada prinsipnya berfungsi mengarahkan aktivitas
pembelajaran agar dapat berjalan secara efektif baik bagi guru maupun anak
didik. Persoalan mendasar adalah bagaimana bentuk desain pembelajaran
nilainisasi dalam konteks pembelajaran intellectual skills melalui values clarification.
Paling tidak ada tiga unsur tahapan pembelajaran yang perlu diperhatikan
nilai yakni;1) stimulus atau kondisi faktual yang dilematis, 2) perilaku
pembelajaran anak didik, 3) kriteria keberhasilan perilaku moral. Ketiga unsur
pembelajaran seperti ini dapat diperhatikan gambar di bawah ini.
SKEMA PEMBELAJARAN INTELLECTUAL SKILLS
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
NILAINISASI “KLARIFIKASI NILAI ”
Kondisi-Stimulus Perilaku Siswa Kriteria Sukses
Deskripsi faktual
baik normative
maupun emperik
problema/
dilemma moral
untuk dipecahkan
Kemampuan perilaku cognitive
process mengidentifikasi,
mendifinisikan,memecahkan,mengevaluasi
dan memprediksi.
behavior/life style; menunjukkan,
menjelaskan, menganalisis
berargumentasi, menilai dan
menyimpulkan
Perilaku Konkrik
cognitive process
& behavior/ life
style; ekspresi
muka, pilih-anpilihan
nilai ke
depan dan selfaktualitation
Kondisi-stimulus biasanya memuat selain nilai-nilai moral dan etika yang
akan ditumbuh-kembangkan, juga problema nilai moral dan etika yang
berkembang di tengah masyarakat yang menuntut solusi dan jawaban. Muatan
pada kelompok ini benar-benar dapat merangsang anak untuk tertarik pada
nilai-nilai moral dan etika yang diinginkan. Kelompok ini dikategorikan sebagai
stimulus dalam pembelajaran pendidikan nilai. Sebagai stimulus tentunya
sangat menentukan pada tahapan berikutnya yaitu perilaku pembelajaran anak
didik; student behavior sebagai tahap kedua. Berhasil atau tidaknya pada tahap
“behavior student” anak didik ini ditandai dengan ketertarikan anak didik pada
nilai moral dan etika dan problemanya.
Adapun behavior student itu sendiri merupakan aktivitas anak didik dalam
memecahkan problema nilai moral dan etika pada tahap pertama. Pada tahap
ini perilaku yang diharapkan muncul lazim disebut dengan intelektual skills/
cognitive process, dengan beberapa kemampuan yang telah diungkakpkan
sebelumnya.20
Pada tahapan ini diupayakan termewujudnya keterampilan intelectual skills
dalam bentuk perilaku senyatanya (behavior), misalnya kemampuan
mengevaluasi sebagai kemampuan tertinggi dalam intelektual skills tampil dalam
bentuk kesadaran mengontrol perhatian, kesediaan merespon dan
menggeneralisasi nilai. Tampilan perilaku seperti ini tidak hanya dilihat pada
kemampuan anak membuat moral jugdment baik secara verbal maupun tertulis,
20 David T. Miles dan Roger E Robinson menyebutkan bahwa cognitif process merupakan
aktivitas mental anak didik dalam proses pembelajaran yang mesti dinyatakan secara eksplisit
dalam tujuan instruksional meliputi anayzes, reviews, manipulates, generates, evaluates. Lihat David
T. Miles dan Roger E Robinson, “Behavioral Objectives: An Even Closser Look” dalam
Harvey F. Clarizio et all., (ed) Op. Ci hlm. 173-174.
Stimulus Kognitif proses Prilaku nyata Produk/
Evaluasi
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
tetapi yang lebih penting lagi, terlihat pada sikapnya terhadap nilai-nilai moral
dan etika yang telah diapresiasikan dalam kehidupannya.
Perlu digaris bawahi, bahwa pemakaian ungkapan dalan tujuan
instruksional, betul-betul mencerminkan kemampuan yang bisa diamati seperti
kalimat memahami ditampilkan dalam kata mengidentifikasi, mengklasifikasi,
memecahkan dan memprediksi jika dibutuhkan.21 Dengan demikian aktivitas
pada klarifikasi nilai sebagai strategi penanaman nilai-nilai moral
menggambarkan perilaku konkret paling tidak ketika mendiskusikan nilai
moral dan etika atau problem nilai moral dalam pembelajarannya.
Kelompok ketiga yakni keriteria sukses. Di maksudkan dengan kelompok
ini, adalah ukuran yang jelas terhadap kemampuan anak didik baik pada
kelompok intellectual skills maupun pada behavior.22 Pada kelompok ini misalnya
kemampuan anak didik dalam mengidentifikasi betul-betul terilihat dari
kemampuannya dapat menunjukkan, menjelaskan, menganalisis,
berargumentasi, mendeskripsikan, mengevaluasi dan menyimpulkan. Kita
dapat melihat bagaimana corak perilaku yang ditampilkan anak sebagai wujud
ekspresinya terhadap apa yang dipahaminya dalam intellectual skills yang
biasanya tampak pada life style kesehariannya, terutama ketika berhadapan
dengan perilaku-perilaku amoral. Tegasnya pada kelompok ketiga ini, lingkup
aktivitas intellectual skills maupun lingkup life style adalah merupakan kriteria
kesuksesan internalisasi nilai yang mesti diperhatikan secara cermat melalui
kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan. Hanya saja bila pada pembelajaran
intellectual skills, perilakunya bersifat verbal dan tertulis, namun pada tahap ini
telah terinternalisasi dalam sikap, gerak mimik dan wajah serta antusias yang
selanjutnya terjelma dalam perilaku nyata dalam kehidupan sosialnya, atau
ketika dihadapkan dengan nilai moral yang bertentangan yang telah
dipahaminya.
Dengan dua lingkup kemampuan ini, anak didik tidak lagi hanya cerdas
pada lingkup kognitif, tetapi juga cerdas dalam lingkup affektif dalam hal ini
wisdom, sehingga nilai moral dan etika yang teraplikasi dalam perilaku anak
didik ini bukan lagi dari hasil kebiasaan mekanis, represif indoktrinatif semata
tetapi merupakan hasil kesadaran dirinya setelah merefleksikan nilai-nilai moral
dan etika yang telah menjadi pilihan melalui bimbingan guru dan orang dewasa
lainnya.
Aplikasi desain pembelajaran dalam konteks ini akan terjelma dalam SAP.
Misalkan dalam materi Filsafat Pendidikan umpamanya, ketika
memperkenalkan rekonstruksionisme sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan
21 I b i d, hlm. 176.
22 Perilaku pada tahap ini merupakan wujud nyata dari kemampuan perilaku cognitive
process. Perilaku tahap ini bisanya dikelompokkan ke dalam domain affektif oleh Bloom, atau
self-actualization oleh Carl Roger dan life-style oleh Derek Rowntree. Baca lebih lanjut Derek
Rowntree, Educational Technology in Curriculum Development, (t.t., Harper & Row Ltd, 1979),
hlm. 29-31
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
maka model penguraiannya dapat dilakukan di antaranya dengan melihat nilainilai
esensial dari aliran ini, tidak sekedar melihat teori yang ditampilkannya
saja. Aliran rekonstruksionisme yang pada dasarnya menginginkan perbaikan
masyarakat ke arah yang lebih baik dengan menempatkan sekolah berada di
tengah-tengah masyarakat ke arah kebaikan global, ternyata pada sisi lain, demi
tujuan esensialnya tersebut, aliran ini menapikan keberadaan kehidupan local
dengan jalan meleburkan kehidupan lokal pada kehidupan global.
Dalam perspektif Islam, tentunya penataan metodis yang ditampilkan
aliran ini melalui pendidikan untuk saat ini memang memiliki validitas yang
cukup rasional untuk memungkinkan terciptanya tatanan masyarakat yang
berkeadilan sosial dalam konteks global, namun demikian aspek individual
ternyata ternapikan. Padahal aspek yang terakhir ini merupakan menurut Islam
adalah bagian yang esensial dalam kehidupan individu dalam masyarakat dan
masyarakat lokal dalam kehidupan masyarakat yang lebih besar semisal
masyarakat global.
Untuk itu, dalam penampilan pembelajaran nilainisasi melalui materi
seperti ini, perlu disentuhkan betapa pentingnya nilai individu seiring dengan
nilai-nilai sosial, karena bagaimanapun juga dalam konteks etika Islam
kehidupan sosial betapapun kecil ruang dan lingkupnya adalah batu uji bagi
kematangan nilai-nilai individu. Begitu pula sebaliknya, kebaikan nilai-nilai
kehidupan sosial tidak diinginkan, justru menyengsarakan kehidupan individu,
begitu seterusnya. Tegasnya materi apapun yang diberikan dalam pembelajaran
diupayakan semaksimal mungkin terkait dengan nilai-nilai moral dan etika.
Kesimpulan
Diakui bahwa mewujudkan nilainisasi dalam setiap materi pembelajaran
bukanlah upaya yang mudah, perlu adanya kemampuan lain untuk
mewujudkannya, misalnya kemampuan epistemologis-metodologis.
Kemampuan ini meliputi kemampuan seseorang menelusuri sumber nilai dan
mengambil kesimpulan dari nilai dan penerapannya secara metodis. Untuk
mengatasi hal ini paling tidak, pembelajaran yang diasuh dalam bentuk team
teaching, sehingga kelemahan seorang guru/dosen dapat ditutupi oleh yang
lain. Kecuali itu, perlu dipertimbangkan untuk memberikan kemampuan
pembelajaran nilai atau moral sebagai kompetensi pendidik dalam konteks
globalisasi melalui pengapresiasian akan nilai-nilai universal.
Bibliografi
Al-Qur`an al-Karim
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-
Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Amril M, Etika dan Pendidikan, (Pekanbaru: Aditya Media dan Yogyakarta:
LSFK2P, 2005).
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008
________, Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib al-Isfahani,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
________,“Moralitas Keagamaan dalam Pendidikan (Sebuah Rekonstruksi
Metodologis-Aplikatif di Sekolah)” dalam AL-TA`LIM (Jurnal
Pemikiran Islam dan Kependidikan), Vol. XI No. 15 th. 2004, Fakultas
Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang.
Bakar, Osman, “Science” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman
(ed)., History of Islamic Philosophy, II, (London: Routledge, 1996).
Brubacher, John S, Modern Philosopies of Education, (New Delhi: Tata
McGraw-Hill Publishing Company, LTD,1981).
Clarizio. Harvey F, et.al, (ed), Contemporery Issues In Educational Psychology,
(Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1979).
Fraenkel, Jack R, How to Teach About Values: an Analytic Approach, (New Jersey:
Prentice-Hall, Inc, 1977)
Hoogvelt, Ankie M.M., The Third World in Global Development, (London:
Macmillan Publisher, 1982).
Iqbal, Muhammad, Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: t.p.,
1951).
Joyce, Bruce dan Marsha Weil., Models of Teaching, (New Jersey: Prentice/Hall
International, Inc, 1986).
Raths, Louis E, Merrill Harmil, dan Sidney B. Simon, Values and Teaching,
(Ohio: Charles E. Merrill, 1978).
Rowntree, Derek, Educational Technology an Curriculum Developmen, (Harper &
Row Ltd, 1979).
Soeprapto, Sri, “Landasan Penelaahan Ilmu” dalam Tim Penyusun Fakultas
Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997).
Piotr, Sztompka, The Sociology of Social Change, Terj. Alimandan, (Jakarta:
Prenada, 2007).
Kamis, 04 Februari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)