Label

Cari Blog Ini

Rabu, 13 Januari 2010

SAINS ISLAM: (Relasi Tripatrik Mikrokosmos, Makrokosmos Dan Metakosmos) Oleh: Prof. Dr. Amril M, M.A

A. Pendahuluan
Sains Islam memiliki wataknya sendiri, sangat bebeda dengan sains-sains non Islam yang sangat mendominasi saat ini. Diantara perbedaan mendasar sains Islam dengan sains non Islam terletak adalah pada pra anggapan filosofis metafisis sebagai dasariyahnya yakni menempatkan Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui sbagai dasar dan orientasi bagi sains Islam.
Implikasi dari karakter sains Islam seperti ini tentu menjadikan eksistensi sains Islam, secara eksplisit, adalah sebuah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dan atau sains Islam itu merupakan manifestasi sebagai bentuk ajaran Islam di dalam sains, sedemikian rupa menjadikan para saintis Muslim ketika memahami dan meneliti realitas sebagai bahan kajiannya, tentu melalui world veiw Islam dan orientasi Qur`anik paradigms. Tegasnya apapun realitas yang akan dipahami dan ditelaah dalam kajian sains dan ilmu pengetahuan selalu terikat dengan. pesan-pesan moral ideal ajaran Islam dan model of thought al-Qur`an dalam memandang realitas.
Konsekuensi dari ungkapan di atas juga akan sangat jelas terlihat bahwa karakter sains Islam adalah 1) menempatkan ilahiyah sebagai dasar praanggapan filosofisnya, 2) menempatkan ajaran nilai-nilai moral ideal Islam dan Qur`anik paradigms sebagai dasar kerangka meodologis kinerja akademisnya dan 3) merupakan manifestasi nyata nilai-nilai Islam dalam setiap produk sains yang dihasilkannya.
Melalui tiga karakteristik dasar sains Islam seperti inilah nantinya akan meniscayakan sains –sains dan ilmu pengetahuan yang akan dihasilkan oleh Islam adalah sains-sains dan ilmu pengetahuan akan menjadikan para sainstis dan pengguna sains akan semakin mendekatkan kehidupannya dengan Khaliq dan memberi manfaat yang besar kepada seluruh isi alam jagad raya: rahmatan li al-`alamin.
Sains Islam yang berkarakter seperti disebutkan di atas tentunya tidak dapat dipisahkan pula dengan seluk beluk yang terkait lazimnya sebuah sains seperti sumber-sumbernya dan alat yang meniscayakan kevaliditasannya untuk menmperoleh sebuah pengetahuan, bagaimana pula sikap ilmuwan Muslim dalam mempelajari dan menelaah realitas yang akan mengahsilkan sebuah sains, kemudian target apa saja yang akan dicapai oleh sains Islam itu dan seterusnya.
Mengingat tempat yang terbatas maka pada tulisan ini yang menjadi fokus kajian adalah pada bidang dasariyah sains Islam dalam nuansa rasionalitas metodologis guna terimplementasinya sebuah sains Islam.
B. Dasariyah Sains Islam: Relasi Tripatrik Makro, Mikro dan Meta Kosmos
Pandangan umum menyebutkan bahwa terdapat hubungan erat antara subjek dengan objek dalam wilayah pengetahuan terutama ketika berlangsungnya proses pengetahuan. Bentuk nyata hubungan subjek-objek pengetahuan ini sangat kental dalam pemikiran carterianims yang sangat mendominasi wacana pemahaman dalam ilmu pengetahuan dan sains sampai saat ini.
Pola relasi subjek-objek dalam pemikiran carterianims adalah /////// atau bentuk hubungan objek-subjek, dimana ///////, dan atau bentuk hubungan yang lebih moderat dibanding dengan dua bentuk hubungan di atas yakni fenomenologis dimana objek diberikan kesempatan seluas-luasnya menampilkan dirinya kepad subjek, kemudian subjek diperbolehkan mengambil kesimpulan dari diri objek. Namun demikian kesemuanya itu tetap menampilkan bentuk hubungan subjek-objek dimana subjek tetap pada posisi yang mendominasi melebihi objek.
Berbeda dengan model hubungan subjek-objek pada sains umumnya saat ini, maka sains Islam mengetegahkan tiga kutub hubungan yang seimbang; yaitu kutub mikro kosmos, makro kosmos dan meta kosmos. Dimaksudkan dengan mikro kosmos adalah manusia sebagai subjek ilmu dan sains, sedangkan makro kosmos adalah alam jagad raya dan segala fenomena di dalam serta yang mengitarinya sebagai objek ilmu dan sains. Adapun meta kosmos adalah hal-hal yang berada dibalik mikro kosmos dan makro kosmos yang masing masing berada sebagai subjek dan objek ilmu dan sains. Dalam pola hubungnan tripakrik ini mikro kosmos sebagai pelaku sains dan makrokosmos sebagai objek sains mengikuti dinamika yang sudah ditetapkan (sunnah Allah ) atau digariskan pada meta kosmos. Tegasnya dalam perspektif Islam dapat dikatakan bahwa unsur-unsur ilahiyah berada pada wilayah meta kosmos. Sedemikian rupa dalam kinerja philosophy of sience Islam semua pencarian ilmu dan sains mesti menembus wilayah meta kosmos ini, karena pada wilayah ini lah nantinya salah satu tujuan utama pencarian ilmu dan sains dalam Islam berada. Oleh karena itu pula setiap orientasi pencarian dan pengembangan ilmu dan sains dalam Islam tertuju pada wilayah meta kosmos, sehingga Allah SWT dalam kinerja ilmu dan sains selalu terikutkan
Hubungan ketiga wilayah ini secara struktur sesungguhnya selalu berada dalam bentuk kesatupaduan sekalipun dengan tetap menempatkan wilayah meta kosmos pada posisi dasar dan orientasi dalam pengapresiasian ilmu dan sains baik ketika memahaminya maupan pada pengembangannya. Secara sederhana relasi hubungan ketiga wilayah ini seperti tergambar di bawah ini








Dari gambar di atas memperlihatkan bahwa wilayah meta kosmos melingkupi wilayah makrokosmos dan mikrokosmos, wilayah makro kosmos






Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pola hubungan tripatrik ketiga wilayah ini betul-betul terjalin satu dengan yang lain, tidak seperti pola hubungan ilmu dan sains non Islam selain pola hubungan itu berada dalam dua wilayah subjek-objek sains dan ilmu tanpa mengenal adanya wilayah ketiga dengan hukum-hukumnya sendiri sehingga kinerja ilmu dan sains sangat terbuka untuk melakukan manipulasi, kalkulasi dan objektivikasi menurut sebatas kemampuan yang dimiliki subjek tanpa harus mengenal batas-batas dan hukum-hukum dan tujuan-tujuan yang telah mengikat wilayah objek pada wilayah meta kosmos.
Konsekuensi kinerja ilmu yang yang didapatkan melalui bentuk hubungan seperti ini tentu subjek ilmu dan sains akan sangat niscaya melakukan pencarian ilmu dan sans menurut kemampuan dan keinginan subjek itu sendiri tanpa diiringi oleh rambu-rambu dan tujuan yang telah ditetapkan (sunh Allah) pada untuk wilayah makro kosmos itu sendiri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pola hubungan tiga wilayah ini yang menempatkan meta kosmos pada posisi yang memayungi hubungan dua kutub lainnya. Menjadikan ilmu dan sains yang akan dihasilkan tentu merupakan ilmu dan sain yang tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah ditetapkan pada meta kosmos. Dalah pengertian seperti inilah dapat akan dipahami nantinya bahwa sains Islam dalah sains yang bersifat theo-antropo sentris
////C. Medel Relasi Tripatrik Mikrokosmos, Makrokosmos dan Metakosmos
Mengingat metodologis dalam konteks sains secara terminology adalah sebagai suatu analisis dan penyusunan asas-asas, cara atau proses yang mengatur penelitian ilmiah umumnya serta pelaksanaannya dalam ilmu pengetahuan, maka ditegaskan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara subjek (peneliti) dengan Objek yang diteliti. Hubungan ini tidak sebatas relasi kerja yang integrative, tetapi lebih dari itu, juga terkait dengan hubungan kualitas subjek dan objek dalam bentuk hubungan organik.
Relasi manusia sebagai subjek pengetahun dan alam jagad raya sebagai objek pengetahuan yang merupakan bagian inheren dalam metodologi dalam perspektif Islam memunjukkan masing-masing kutub pengetahuan ini memiliki hirarkhis sehingga bersesuaian satu dengan lainnya. Osman Abubakar misalnya mengungkapkan bahwa dalam metodologi sains Islam manusia yang berada pada kutub subjektif pengetahuan dengan keragaman kemampuan dan kekuatan mengetahui sebagai bentuk kesadaran yang memiliki hirarkhis, kedua alam jagad raya sebagai kutub objektif pengetahuan yang juga memiliki hirarkhis sama yang ada pada manusia sebagai subjek pengetahuan
Secara implicit menunjukkan bahwa kemampuan dan kekuatan kemampuan pengetahuan manusia juga memiliki tingkatan kualitas sebagaimana pada aalam jagad raya sebagai objektif pengetahuan. Ini juga berarti dalam Islam alat-alat epistemic pengetahuan memiliki kualitas kemampuan yang berbeda-beda sedemikian rupa keterpaduan pada kinerja alat-alat epistemic memurut Islam terus diupayakan. Kondisi pemenfaatan epistemisc sains moderen justru menafikan dan mengingkari kemampuan epistemic lainnya.
Bagaimana bentuk hubungan kedua kutub ini dalam metodologi sains Islam ? Paling tidak huibungan kedua kutub ini adalah dalam bentuk hubungan yang mencakup gagasan koherensi dan kerepondensi. Hubungan koherensi akan terlihat nanti bahwa akan selalu ada kesesuaian antara pmahaman akan alam jagad raya dengan kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Artinya alam jagad raya ini merupakan keniscayaan bagi manusia untuk mampu memahaminya. Sedangkan hubungan korespondensi adanya keniscayaan hubungan verifikatif komponen dan unsure manusia dengan alam jagad raya ini.
Kesepakatan sebagaian besar para ahli yang menyebutkan manusia disebut dengan mikrokosmos dan alam jagad raya disebut dengan makrokosmos merupakan dalil yang menunjukkan bahwa manusia dan alam jagad raya ini merupakan satu kesatuan, oleh karena itu penelaahan manusia terhadap alam merupakan sesuatu yang tidak terlalu sulit untuk dipahami, justru sebaliknya merupakan keniscayaan Bahkan pencarian pengetahuan manusia pada alam jagad raya sesungguhnya tidak hanya sekedar adanya stimulus alam kepada manusia sehingga menjadikan manusia tertarik untuk mempelajari alam ini, tetapi juga juga merupakan desakan dari dalam diri manusia, karena bukankah alam jagad raya ini merupakan gambaran yang lebih luas dari dirinya sendiri. Kenyataan ini sungguh berbeda dengan pola hubungan sains moderen dimana memposisikan manusia pada posisi yang menentukan terhadap pemaknaan alam jagad raya Alam jagad raya diposisikan dalam bentuk hubungan objek yang dapat dikalkulasi dan bahkan dimanipulasi oleh manusia.
Bagaimana pula hubungan manusia, alam jagad raya dengan dengan ranah ilahiyah dalam wacana metodologi sains Islam ? Berangkat dari pemahaman bahwa manusia sebagai subjek pengetahuan dan mikrokosmos dan alam jagad raya sebagai objektif pengetahuan dan alam makrokosmos, kedua kutub pengetahuan ini sesungguhnya merupakan derivasi dari metakosmos, yakni Prinsip Ilahi.. Oleh karena itu metodologi sains Islam dalam membangun kinerjanya akan selalu menata dan mengikutkan hubungan tripatrik ini; mmikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos. Relaitas dan fenomena apapun yang akan dikaji selalu ditempatkan sedemikian rupa dalam struktur tripatrik ini. Melalui paradigma metodologi seperti ini meniscayakan aktivitas kinerja sains akan selalu dalam kepentingan dan keharmonisan ketiga alam ini. Alam sebagai objektif pengetahuan tidak akan dipahami sebagai objek yang dapat dikalkulasi dan direkayasa memurut kemauan subtif manusia, demikian pula wilayah Ilahiyah atau Prinsip Ilahi sebagai metakosmos, sebagai sumber dua kosmos lainnya, tentu akan selalu menjadi landasan dan orientasi bagi pengembangan sains Islam.
Sedemikian rupa dengan metodologi sains Islam seperti ini kinerja ilmiah yang dilakukan oleh para saintis tentu akan selalu dilandasi oleh kesadaran bahwa pengetahuan apapun yang akan ditelaah dan dihasilkan tentunya tetap berada dalam kerangka dan kepentingan tiga alam ini. Sedemikian rupa para saintis akan mampu menelaah dari sestiap kajiannya untuk kepentingan manusia, alam jagad raya dan Tuhan. Dalah kinerja sains seperti inilah sangat memungkinkan pencarian saintis akan menemukan Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan dan keseimbangan alam dalam setiap aktivitas penelitiannya.
Melalui model metodologi sains Islam seperti ini memungkinkan Tauhid sebagai basis paradigma metodologi sains Islam sebagaimana banyak diinginkan oleh para sarjanawan Muslim akan dapat terwujudkan. Hal ini dapat ditegaskan bahwa subjek pengetahuan bersama objek pengetahuan bersumber dari metakosmos; Prinsip Ilahi. Ini juga menunjukkan bahwa Tauhid segaligus in divines pada subjek dan objek pengetahuan, Sedemikian rupa kinerja ilmiah sains akan berada dalam di bawah payung keridhaan Allah SWT yang pada gilirannya tentu pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan sangat niscaya kearah penemuan dan penguatan keyakinan Allah Rabb al-`Amin.
Kecuali bentuk relasi tripatrik dalam metodologi sains Islam, juga akan semakin lengkap bila kita sebagai seorang Mukmin meyakini bahwa wahyu yang berasal dari Allah SWT banyak memberikan inspirasi dan motivasi untuk mempelajari alam dengan segala dinamika dan fenomenanya Al-Qur`an memang bukan kirab berbagai disiplin ilmu pengetahuan tetapi prinsip-prinsip dan berabagai system ilmu pengetahuan sbagai bukti bahwa al-Qur`an sebagai petunjuk untuk segera ditintak lanjuti untuk digali dan diteliti oleh para saintis.
Dalam perspektif filsafat Islam pemaknaan akan wahyu cukup luas, tidak saja sebatas pemberi petunjuk dan pengajaran yang amat luar biasa tidak hanya pada wilayah ilahiya, manusia, tetapi juga alam jagad raya dengan segala nomena dan fenomenanya dalam bentuk tatanan yang organic dan multi-effectnya adalah juga bentuk wahyu.
Omar Abubakar misalnya menyebutkan bahwa ada tiga bentuk wahyu yakni
a. Wahy al-Juz`i atau disebut juga dengan Wahyu subjektif; yakni akal manusia Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dengan mempelajari dan memahami ciptaan-Nya
b. Wahy al-Kulli atau al-Qur`an disebut dengan wahyu objektif dan universal
c. al-Qur`an al-Takwin atau disebut juga dengan wahyu kosmik atau Kitab Tuhan
Sifat kerja ketiga wahyu ini tunduk pada prinsip Tauhid; menjadi kesatuan yang pada saat yang sama bersifat koheren dan korespondensi serta komprehensif. Ini berarti bahwa akal dengan keragaman kemampuan potensi yang ada didalamnya sebagai wahyu subjektif tetap tunduk dan tidak akan menentang pada wahyu objektif ; al-Qur`an.
Melalui hubungan organic ketiga wahyu ini akan dapat membangkitkan akal menjelanjahi alam jagad raya ini sebagai objektif pengetahuan. Kinerja akal dalam aktivitas ilmiah akan selalu selaras dan dibimbing oleh dua wahyu lainnya yang memang merupakan anugerah Tuhan kepada manusia. Dalam aktivitas ilmiah seperti inilah secara niscaya sains yang akan lahir dalam Islam justru sains yang akan tetap berorientasi kepada wilayah ilahiyah.
Melalui model penerapan metodologi sains Islam seperti ini secara niscaya dalam kajian dan penelitian sains tentu tidak lagi sebatas pada objek saja yang sangat artificial dan verbal sebagaimana selama ini dilakukan oleh metodolgi sains barat moderen, tetapi justru metodologi sains Islam ini dalam kajian dan penelitiannya tidak dapat mengabaikan tiga wilayah alam kosmos ini dibawah satu dasar yakni Tauhid.
Adalah akal atau dalam hal ini dimaknai pula dengan intuisi (`ain al-qalb) memiliki peranan sentral untuk teraplikasinya metodologi sains Islam ini. Ini bukan dimaksudkan bahwa Islam menapikan alat epistemic lainnya seperti eksperimentasi dan persepsi. Tetapi dengan akal bersama-sama wahyu secara niscaya akan mampu mengimplementasikan metodologi sains Islam terebut.
Kemampuan akal dan wahyu untuk hal seperti ini dikarekan bukankah manusia sebagai sipemiliki wahyu subjektif tentunya tidak ada hambatan untuk bekerjasama dengan wahyu objektif (al-Qur`an) untuk mengkaji Kitab Takwin sebagai pengetahuan objektif. Selain itu akal dengan posisinya seperti ini akan menjadikannya untuk mampu mengetahui dan memamahami prinsip-prinsip Ilahihaya alam kosmos sebagai kitab takwin atau yang juga disebut dengan wahyu kosmik. Demikian pula wahtyu atau agama sebagai wahyu objektif dalam metodologi sains Islam ditempatkan sebagai pemegang kendali utama akal dalam mencari dan meneliti alam jagad raya ini. Dalam konteks pemahaman seperti ii dapat dengan mudah dipahami mengatakan bahwa haya orang beriman dan berilmu pengetahuan yang takut dan akan dekat dengan-Ku
Lebih penting lagi secara ontologis bahwa akal manusia dalam perspektif teologis adalah sebuah substasi spritual yang bersumber atau prinsipnya adalah Akal Ilahi atau Logos yang juga merupakan prinsip dari alam makrokosmik dan sumber bagi kitab suci al-Qur`an yang realitas hakikinya juga berada dalam Aklal Ilahi.
Jadi metodologi sains Islam tidak lepas dari kinerja tripatrik alam kosmos dalam kerangka tiga bentuk wahyu yang saling terkait satu dengan lainnya. Model kinerja metodologi sains Islam ini akan terlihat pula pada pengimplementasian tiga wilayah ilmu pengetahuan; ontology, epistemology dan aksiologi.

Beragam jawaban tentang pertanyaan apa sesunguhnya sains Islam telah ditampilkan oleh kalangan filsuf Muslim kontemporer, namum perbedaan tekanan dan aksentuasi pada aspek sains ditambah dengan perbedaan sikap terhadap sains moderen barat menyebabkan lahirnya keragaman konsep difinisional sains Islam dan pro, sehingga tidak pula dipungkiri pro dan kontra terhadap eksistensi atau keberadaan sains Islam itu sendiri terus berdialektik.
Terlepas dari prodan kontra tentang eksistensi sains Islam itu, Mehdi Golshani misalnya, seorang saintis Islam yang sangat mengakui adanya sains Islam, menyebutkan bahwa sains Islam itu adalah sejenis sains dimana pengetahuan kita mengenai alam dilekatkan pada pandangan dunia Islam.
Pendifinisian sains Islam seperti ini menunjukkan bahwa karakter dasar sains Islam terletak pada pra anggapan filosofis metafisiknya yang merupakan dasar dari sebuah metodologis dari sebuah sains. Penekan sains Islam pada sisi ini cukup mudah dipahami mengingat apapun aktivitas ilmiah dari seorang saintis, langsung ataupun tidak, sesungguhnya tidak terlepas dari anggapan filosofis metafisis yang melekat dalam dirinya. Pra anggapan filosofis metafisis ini sangat mempengaruhi kinerja ilmiah pada tahapan –tahan berikutnya.
Implikasi praktis dari pandangan seperti ini tentunya akan menunjukkan pula bahwa aktivitas ilmiah pada sains Islam tidak lagi sebatas aktivitas ilmiah yang lazimnya dilakukan oleh para sainstis Barat moderen selama ini, tetapi mesti dilanjutkan dengan penafsiran-penafsiran dalam kerangka metafisis Islami.
Pemaknaan sains Islam seperti ini menurut Gholshani tidak pula semata-mata bahwa kinerja metodologi Ilmiah dalam sain Islam tidak selamanya mesti berbeda sama sekali dengan sains barat moderen. Para sainstis Islam syah-syah saja menggunakan metodologi sains non Islam. Para sainstis Islam akan bekerja seperti para sainstis non Islam, kecuali yang membedakannya hanyalah pada penafsiran yang dilakukan oleh para sainstis Islam akan sangat berbeda dengan para saintis non Islam.
Melanjutkan apa yang diinginkan Mehdi Gholshani, yakni Zainal Abidin, seorang pemikir Islam Indonesia, menyebutkan bahwa sains Islam adalah system sains yang dilhami oleh nilai-nilai Islami, atau merupakan manifestasi ajaran-ajaran Islam dalam sains. Oleh karena itu metodologi sebagai bagian yang amat penting dalam sains perlu direkonstruksi sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga akan dapat memunculkan apa yang diinginkan oleh sains Islam.
Pendasaran Islam baik pada dasar filosofis metafisik maupun pada system Islam bagi sains Islam seperti diungkap di atas, juga ditemukan dalam pemikiran Kuntowijoyo. Dengan istilah pengilmuan Islam yang diajukannya, tergambar bahwa sains Islam adalah sains dimana ilmuwan Muslim harus melihat realitas melalui Islam dan eksistensi humaniora dalam al-Qur`an. Di sini Islam sebagai teks dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah. Tegasnya ini lah yang dimaksud dari teks ke konteks.
Dari tiga pendapat sarjana Muslim di atas sangat terlihat bahwa Islam baik sebagai dasar filosofis metafisik yang berada pada praanggapan sains dan al-Qur`an sebagai kacamata telaah dan meretas realitas, maupun penempatan system Islam sebagai kerangka kerja sains, kesemua ini dapat dikatakan karakter dasar dari sains Islam. Dengan menempatkan Islam atau al-Qur`an sebagai dasar filosofis metafisik pada sains, akan sangat meniscayakan terimplementasinya pandangan dunia (world view) Islam bagi para saintis. Hal seperti ini sangat menentukan cara kerja ilmiah, cita-cita dan tujuan ilmu yang akan didalami atau yang akan dikembangkannya dalam setiap aktivitas ilmiah. Begitu pula dengan mempedomani system Islam sebagai aktivitas ilmiahnya, tentu akan sangat memungkinkan para saintis untuk selalu terbimbing oleh nilai-nilai Islam sehingga produk ilmu yang akan dilahirkan adalah ilmu pengetahuan yang theo-anthropo centred; Allah SWT dan kemanusiaan menjadi dasar sekaligus kerangka acuan, focus dan orientasi bagi perjalan sains dan pengembangannya.
Sains Islam, dengan demikian, merupakan pengimplementasian nilai-nilai Islam baik pada wilayah filosofis metafisis sebagai dasar awal sains maupun pada wilayah metodologi sains sebagai aktivitas ilmiah sains dan pada wilayah manisfestasi nilai-nilai Islam sebagai internalisasi nilai-nilai Islam. Tegasnya system dan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek sains merupakan karakter untuk membedakan sains Islam dengan sains non Islam. Melalui karakter dasar sains Islam seperti ini meniscayakan akan menghasilkan sains-sains yang rahmatan li al`alamin yang sangat sarat dengan nilai-nilai ilahiyah dan humanis. Tidak seperti sains barat moderen yang justru menapikan segala bentuk nilai-nilai ilahiyan dan kemanusiaan: the knowledge is power.
C. Metodologi Sains Islam : Sebuah Pendasaran Rasional
Berangkat dari makna sains Islam dimana system dan konstruksi serta manifestasi nilai-nilai Islam merupakan dasarnya, tentu metodologi sains Islam harus mampu mewujudkan apa yang dimaksudkan dengan sains Islam. bahkan keberhasilan terwujudnya sains Islam seperti dipahami di atas sangat tergantung pada metodologi sains Islam itu sendiri. Hal ini dikarenakan bukankah metodologi pada dasarnya menunjukkan apa dan bagaimana melakukan sesuatu, demikian pula halnya dalam konteks sains Islam tentunya. Metodologi sains Islam, diakui beragam bentuk dan tampilannya, namun orientasi pada ilahiyah dan Tauhid sebagai system dasariah metodologi sains diterima oleh seluruh para sarjanawan Muslim dalam membangun metodologi sains Islam
Paling tidak secara umum metodologi sains Islam bergerak dalam dua alur pemikiran, yang saling terkait satu dengan lainnya. Alur pemikiran metodologis ini adalah;
1. Alur metodologi filosofis-analitis; dimaksudkan dengan alur pikir ini adalah penekanan metodologi sains Islam lebih pada pembentukan praanggapan dasar filosofis metapisik bagi saintis, pada gilirannya dapat melahirkan penafsiran-penafsiran yang Islami atas sains-sains yang dipelajari dan dikembangkan oleh para saintis. Sedemikai rupa sains yang dikembangkan dan dipelari akan dapat menghantarkan pada pemahaman dibalik fakta sensual menuju ke nilai-nilai ilahiyan dan kemanusiaan.
Kelompok ini sangat menekankan tumbuhkembangnya pandangan dunia worl view Islami sebagai gerak awal yang mesti dimiliki oleh saintis. Kualitas pandangan dunia sainstis ini dituntut menyerupai pandangan dunia al-Qur`an dalam memandang realitas atau menempatkan eksistensi sains-sains humaniora seperti yang dilakukan al-Qur`an; transpormatif amr ma`ruf wa nahy `an al-munkar.
Di sini sangat ditekankan penafsiran dan kesimpulan dari sebuah sains yang benar-benar kearah pengakuan dan keyakinan akan adanya Allah SWT dan kemanusiaan. Dengan pembentukan pandangan dunia Islami atau Qur`anik yang telah dimiliki para saintis ini diniscayakan akan menemukan aspek ilahiyah dan kemanusiaan dibalik ayat-ayat kauniyah al-Qur`an yang begitu amat banyak dijumpai dalam al-Qur`an sebagaimana sangat diinginkan dalam pandangan dunia Qur`anik.
Begitu pula dengan penempatan eksistensi ilmu humaniora oleh para saintis sebagaimana eksistensi ilmu ini di dalam al-Qur`an mengindikasikan bahwa ilmu-ilmu humaniora yang akan dikaji, dikembangkan dan dihasilkan oleh para saintis tentunya sains-sains yang berpihak pada kebenaran dan kebajikan etis yang tidak partisipan, tetapi untuk seluruh umat manusia dan alam jagad raya secara keseluruhan di bawah payung ilahiyah. Tegasnya sains yang akan dikembangkan dalam Islam adalah sains yang akseleratif ke arah terciptanya transformasi dalam kehidupan umat manusia yang bermartabat, elegan, mencerdaskan dan membebaskan yang tetap berada di bawah payung ilahiyah. Oleh karena pula pencarian relasi koherensi antara kebenaran ayat-ayat al-Qur`an dan hasil pencarian para saintis merupakan upaya yang dilakukan oleh para saintis ketika mempelajari dan mengembangkan ilmu mereka melalui kajian terhadap realitas alam jagad raya ini.
Dalam konteks seperti ini dibutuhkan tumbuhkembangnya ketauhidan dalam diri saintis, karena tanpa adanya ketauhidan yang kokoh pandangan dunia Islami sulit untuk tumbuh dan berkembang sekaligus juga akan menyulitkan terimplementasinya pandang dunia Qur`anik dalam aktivitas ilmiah.
Untuk terwujudnya pandangan dunia Islami dan Qur`anik ini diupayakan secara sistematis dan metodis dengan menginternalisasikan keimanan kepada Allah SWT, beluk Islam baik fisikal maupun spritual; dimulai dengan mengenal kebudayaan, hukum, etika, sejarah, semangat dan harapan ummah dalam konteks ruang dan waktu disamping pula kebudayaan dan agama lain.
2. Metodologi Metodis-praktis, dimaksudkan dengan alur pikir ini adalah penekan pada upaya metodis dalam kerja aktivitas sains Islam itu sehingga meniscayakan lahirnya sains Islam yang rahmatan li al-`alamin. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah banyak dilahirkan pemikiran metodis untuk sains Islam oleh para ilmuwan Islam itu sendiri disamping ditemukan pula yang menapik adanya metodis sains Islam. Terlepas dari pro dan kontra, pada kesempatan yang terbatas ini penulis hanya menampilkan sebuah alur pemikiran metodis sains Islam yang sangat meniscayakan untuk diimplementasikan sebagai tahapan pemula ketika sains Islam sudah mesti diwujudkan meskipun masih terdapat kelemahan-kelemahan untuk segera disempurnakan.
Alur pemikiran metodis sains Islam ini dengan meminjam konsep Kuntowijoyo adalah apa yang disebut dengan demistifikasi, integralisasi dan objektifikasi. Dimaksudkan dengan demistifikasi adalah sebagai gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks, dari nilai ke fakta, normative ke historis begitu pula sebaliknya sehingga antara teks dan konteks ada korespondensi dan koherensi dan berkesinambungan. Hal ini akan menjadikan agama tidak dibiarkan kehilangan fungsi integritas sosialnya terhadap sains, begitu pula sebaliknya sains tidak dibiarkan berjalan liar sendiri tanpa agama sebagaimana sains Barat moderen yang justru menafikan agama dan menyingkirkan peran integritas sosial agama.
Demistifikasi sesunguhnya juga membuka kesempatan bagi sains Islam untuk terus dikembangkan yang selalu bersentuhan dengan konteks ruang dan waktu yang berada dalam kedinamisan, on going process. Baik pada realitas social maupun pisikal dan psikis, sedemikian rupa pengkajian sains juga akan selalu mengikuti dinamika di luar dirinya sehingga tidak tertinggal oleh tuntutan masa dan tempatnya. Oleh karena itulah kajian sains dengan metodis demistifikasi akan menghindarkan sains Islam dari kejumudan, rigid dan kaku, sebaliknya sains Islam akan dapat menopang dan keberlangsungan fungsi integritas social agama dalam kehidupan manusia kearah benar dan bajik di bawah keridhaan Allah SWT dengan produk sains yang dihasilkannya.
Begitu pula pada alur pemikiran metodis integralistik. Dimaksudkan dengan alur pimikiran seperti ini adalah pengupayaan tentang bagaimana antara agama dan sains tidak terperangkap pada pertentangan laten yang selama ini selalu terus didengungkan oleh sebagian para ilmuwan, tetapi lebih diupayakan menunjukkan relevansi antara agama dan sains sebagai dua entitas yang memungkinkan untuk saling menjalin dan lebur dalam batasan-batasan tertentu.
Melalui metodis integralistik keterpisahan sains yang satu dengan yang lain tidak akan terjadi, justru sebaliknya selalu ada ruang untuk saling menyapa dan melengkapi satu sains dengan sains lainnya. Tegasnya metodis integralistik tidak akan akan menjadikan sains terjebak ke dalam apa yang disebut dengan diferensiasi sebagaimana pada sains-sains moderen selama ini. Bahkan dalam perspektif sains Islam tentunya sangat memungkinkan terbangunnya relevansi dan atau interkoneksi antara sains dan agama dalam batas-batas yang proforsional disamping kerkaitan satu sains dengan sains lainnya.
Dengan integralistik ini juga tentunya secara niscaya kebenaran yang dihasilkan tentunya adalah kebenaran yang komprehensif. Kebenaran yang dihasilkan oleh suatu kinerja ilmiah atas dasar berbagai sudut pandangan sejumlah sains dan agama.
Dalam kerangka dedifrensiasi ini agama akan menjadi payung untuk tolak ukur kebenaran suatu sains ( benar-salah), bagaimana semestinya sains diproduksi ( baik-buruk), Tujuan sains ( bermanfaat-merugikan), serta orientasi ilmu ( theoanthoposenris- anthroposentris).
Sejalan dengan semangat demistifikasi, metodis integralistik akan memposisikan agama dengan segala derivasinya akan selalu berada pada posisi yang menentukan ketika dedifrensiasi sebagai watak metodis integralistik bergeliat. Peran sentral agama ini sangat menentukan terutama untuk dasar-dasar dan membentuk kinerja serta orientasi dari sebuah sains ketika akan dikembangkan dan dikaji.Singkatnya dapat dikatakan bahwa metodis integralistik akan bergerak dari agama dan derivasinya, kemudian ke dedifrensiasi yang berakhir lahirnya sains yang integralistik, yakni suatu sains lahir setelah mendialektikan berbagai sains dan menjadikan agama sebagai pemain utamanya.
Sehubungan agama sebagai pemain utama dalam metodis integralistik ini seperti dipaparkan di atas, maka pengupayaan relasi agama dan sains tidak dimaksudkan agama pada posisi posisi eksekutor, legislator dan justifikator atas hasil temuan sains sekalipun dapat memberikan kontribusi bagi perluasan dan pendalaman teologis umat. Sebaliknya agama lebih pada posisi motivator dan dinamisator bagi sains, karena bagaimanapun juga produk sains pada prinsipnya merupakan hasil jawaban dari saintis yang terikat oleh ruang dan waktu. Terlebih lagi dalam sains Islam, selain apa yang ditemukan dalam lazimnya sebuah sains seperti disebutkan di atas, maka sains Islam sesungguhnya merupakan hasil elaborasi dan refleksi atas pesan-pesan normative al-Qur`an oleh para saintis yang juga terikat oleh ruang dan waktu di saat sains itu dikaji dan dikembangkan. Oleh karena itu agama berada pada posisi motivator dan dinamisator bagi saintis untuk terus mengadakan penelitian-penelitiannya.
Terakhir adalah metodis objektivikasi. Dimaksudkan dengan alur metodis seperti ini adalah pengupayaan lahirnya sebuah sains Islam yang tidak lagi sebagai ilmu yang normative dan partisipan, tetapi ilmu yang benar-benar dirasakan manfaatnya untuk semua umat manusia. Bagi pemeluk non Islam misalnya akan merasakan sebuah sains benar-benar dari gejala keilmuan semata bukan sebagai gejala dogma.
Objektivikasi sains Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari alur dua alur pemikiran metodis praktis, tentunya akan menempatkan agama atau teks dan derivasinya juga berada pada posisi penentu dalam aktivitas ilmiah. Sehubungan dengan ini pula tentunya kinerja dalam objektivikasi sangat terkait dengan agama dan derivasinya sebagai kunci dalam aktivitas ilmiah.
Dengan menempatkan agama pada posisi seperti ini dalam sains Islam tentu pula kinerja objektifikasi dalam sains Islam akan sangat berbeda dengan sains moderen barat yang selama mengklaim diri sebagai sains yang menjunjung tinggi objektifitas.
Pada sains barat moderen objektifikasi dilihat bila suatu peristiwa merupakan akibat dari kondisi objektif penyebabnya, sehingga tertutup ruang sekecil apapun bagi kemungkinan adanya unsur-unsur lain dalam peristiwa tersebut. Sedemikain rupa agama dan fenomena social lain yang mengitarinya ditepikan dan keniscayaan keikutsertaannya ketika telah didapatkan kondisi objektif sebagai penyebab suatu peristiwa tersebut. Dalam kinerja seperti ini justru akan sangat rentan munculnya subjektifikasi, dominasi, reduksasi dan subordinasi serta sekulerisasi.
Berbeda dengan itu, kinerja objektifikasi sains islam bermula dari internalisasi nilai-nilai universal qur`anik kedalam kategori-kategori yang objektif sebagai basis objektifikasinya, kemudian dilakukan eksternaliasi kepihak non Muslim sehingga sains Islam sebagai produk ilmiah akan dirasakan sebagai gejala keilmuan oleh semua pihak, bukan sebagai gejala dogma agama meskipun bagi Muslim pemanfaatan dari sains Islam seperti ini merupakan ibadah.
Bagaimana objektivikasi yang berawal dari internalisasi ke eksternalisasi ini paling tidak dapat dilakukan dalam dua perlakuan yang terpadu yakni
Pertama, para saintis Islam bekerja dalam memahami realitas alam jagad raya ini dalam pola-pola Tuhan atau mengatur kembali material-materialnya agar sempurna dan memberikan manfaat yang maksimal bagi kelangsungan kehidupan umat manusia tanpa kecuali. Kedua, para sainstis Islam dalam mengembangkan dan memanfaatkan alam raya ini atau menelaah fenomena kehidupan manusia mendahulukan nilai-nilai etika dengan memilih aksi-aksi transpormatif dengan cara-cara etis atau dalam pengertian pengabdian kepada Allah SWT dan berbuat adil bagi sesama .
Jadi dengan objektivikasi yang berbasis dari nilai-nilai universal qur`anik ke dalam bentuk dari internalisasi objektif ke eksternalisasi objektif secara niscaya akan melahirkan sains Islam yang dapat diterima oleh semua uamat manusia melampaui batas-batas wilayah, ras dan bahkan agama. Melalui objektivikasi seperti ini akan menempatkan sains Islam terhindar dari sifat dominasi dan sekularisasi dari sebuah sains, lazimnya pada sains barat moderen, sebagai akibat penempatan objektivikasi yang sempit seperti yang telah disinggung di atas.

//Secara difinisional pendekatan konfirmasi merupakan upaya memperkuat atau mendukung aktivitas sains, yakni aktivitas dan kinerja sains yang terbebas dari implikasi-implikasi yang tidak dibenarkan oleh agama, sehingga dengan pendekatan seperti ini dapat menjadi landasan aktivitas ilmiah dalam mencari makna pada alam semesta atau realitas.
Perlu juga digaris bawahi bahwa konfirmasi agama atas sains sama sekali tidak mencakup peleburan atas atau dengan hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah sains, akan tetapi yang dilakukan agama terhadap sains adalah sebagai pendukung atau inspirator dalam upaya sains mengungkap rahasia tatanan alam raya ini. T




Tanpa mengecilkan model-model metodologi sains Islam lainnya maka pada kesempatan ini hanya dua model metodologi sains Islam saja yang akan ditampilkan. Pertimbangannya model pertama mewakili model yang lebih menekankan dasariah filosofis sedang yang kedua mewakili model yang lebih menekankan praktis dan implementatif
1. Penanaman visi dan Worldview Islam
Penanaman visi Islam dalam integrasi ilmu adalah sangat penting. Hal ini mengingat selain tidak akan munculnya identitas muslim sebagai seorang Muslim tentang kehidupan, juga sulit diharapkan akan adanya kemajuan Islam sebagai sebuah peradaban, bahkan jusrtu yang akan muncul keterombangambingan muslim ditengah-tengah gencarnya tarik menarik peradaban yang ada saat ini.
Bagi mahasiswa dan para sarjana Muslim keadaan seperti ini jusrtu dengan dalih objektifitas dan ilmiah yang selalu disodorkan kepada mereka meniscayakan mereka akan mudah meninggalkan identitas Islam dalam kehidupan dan aktivitas ilmiah mereka. Oleh karena itu tugas pertama dalam aktivitas ilmiah seorang sarjana Muslim adalah membentuk dan menumbuhkan visi Islam dalam dirinya sehingga segala aktivitas ilmiah yang akan diaplikasikannya akan selalu terbimbing oleh nilai-nilai Islam sebagai visinya
Untuk mewujudkan tumbuhkembangnya visi Islam bagi sarjana Muslim ini paling tidak menurut Ismail Raqi al-Faruqi adalah memberikan wawasan Islam; esensi kebudayaan Islam, Logika Islam, arah yang hendak dituju umat. Kebudayaan Islam ini diberikan dengan pola studi terhadap Islam dan kebudyaannnya; syariah dan etikanya, studi perbandingan agama-agama dan kebudyaan lain. Bila dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi diberikan waktu selama empat tahun atau delapan semester untuk semua jurusan dan program studi.
Melalui studi kebudayaan Islam seperti ini maka seoaran sarjana Muslim akan menyadari bahwa ia sangat berbeda dengan sarjana non-Muslim, tidak saja dalam persoalan kebutuhan material-material atau realitas-realitas utilitarian, tetapi juga juga dalam pandangan-pandangan mengenai dunia didalam penilaian-penilaian moral dalam juga didalam harapan spritual.
Dengan demikian kesadaran diri dari seorang sarjana Muslim akan Islam yang menjadi identitas dirinya, maka pandangan dunianya sebagai paradigmanya melihat, memahami dan mengapresiasi realitas dan alam jagad raya tentu tidak akan pernah melepeskan dirinya dari keridhaan agamanya, sedemikian rupa tentunya secara teologis akan selalu mengikatkan dirinya pada Tuhannya.
Keterikatan seorang sarjana sebagai manusia yang dalam hal ini berada pada posisi makrokosmos dalam perspektif filosofis Islam tentu akan selalu terkait denganj kosmos lainnya yakni karokosmos sebagai objektif ilmu pengetahuan dan metakosmos sebagai posisi ilahi atau Logos sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Dalam perspektif filsafat ilmu kontemporer saat ini pandangan dunia seorang ilmuwan tidak bisa diabaikan begitu saja dalam aktivitas ilmiahnya. Bahkan pandangan dunia ini akan menjadi pembimbing dan pengarah dalam membentuk paradigmanya memahami realitas.Oleh karena itu pandangan dunia bagi seorang ilmuwan sangat menentukan kinerjanya dan aktivitasnya dan babegitu pula kesimpulan apapun yang diambilnya melalui interpretasinya terhadap fakta-fakta dan fenomena yang dikajinya sesungguhnya sangat ditentukan oleh pandangan dunianya.
Dari perspektif inilah, nanti akan dapat dipahami kenapa Kuntowijoyu mengingnkan agar Muslim, termasuk ilmuwan dalam pandangan dunianya, seperti al-Qur`an memandang realitas. Oleh karena itu seorang ilmuwan terlebih dahulu membangun paradigma pandangan dunia qur`anik sebelum menelaah alam jagad raya dan fenomena social lainnya.

D. Ragam Metode Sains Islam
1. Motode Integralisasi: Demistifikasi, Integrasi dan Objektivikasi
Dimaksudkan dengan model integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu dan turunannya. Melalui model ini sekularisasi dan dominasi serta subjektifikasi sebagaimana yang melekat pada sains moderen tidak terjadi pada sains Islam.
Model ini sesungguhnya berangkat dari pemahaman yang lebih menekankan akan peranan posisi utama agama atau Teks dalam kajian sains Islam, sehingga teks dan turunannya benar-benar mampu melahirkan sains yang tidak terlepas dari Iman. Dengan model seperti ini akan menjadikan umat dalam hal ini para saintis akan dapat mengenal lingkungannya lebih baik, baik lingkungan fisikal, social, simbolis dan sejarah seperti al-Qur`an mengkonsepsikan lingkungan seperti disebutkan di atas.
Alasan dasar model integrasi seperti ini sesungguhnya tidak terlepas dari kosnsepsi Thomas Khun akan paradigma sebuah ilmu. Menurutnya, pada dasarnya realitas social itu dikonstruksi oleh mode of Thougth atau mode of Inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Oleh karena itu al- Qur`an semestinya dapat menjadi paradigma yang akan membentuk pandangan dunia dalam aktivitas ilmiah sehingga ilmu pengetahuan yang dihasikan oleh para saintis berakar dari paradigma al-Qur`an.
Menempatkan al-Qur`an sebagai paradigma ilmu pengetahuan atau sains akan memungkinkan kita dapat memahami realitas sebagamana al-Qur`an memahaminya. Hal ini memungkinkan karena bukankah fungsi al-Qur`an seperti ini tidak saja sejalan dengan misi utamanya selain sebagai dasar pembentukan perilaku sejalan dengan normative al-Qur`an baik pada level moral dan social juga sesungguhnya merupakan dasar bagi konstruksi sains dan memungkinkan pula sebagai disain besar mengenai system Islam termasuk dalam hal system ilmu pengetahuan. Jadi al-Qur`an tidak lagi sebagai basis aksiologis sains tetapi juga menjadi basis ontologis dan epistemologis sains. Untuk mengimplementasikan model integralisme sains Islam ini paling tidak ditempuh tiga kinerja metodologi yakni demistifikasi, integrasi dan objektivikasi.
a. Demistifikasi
Dimaksudkan dengan demistifikasi adalah sebagai gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks, dari teks ke konteks, sehingga antara teks dan konteks ada korespondensi, ada kesinambungan.
Seperti telah disinggung di atas, upaya demistifikasi akan menjadikan umat atau para saintis tidak lagi asing dengan kontek ketika memahami dan mengimplementasikan pesan-pesan normative agama. Para saintis Islam akan selalu memberangkatkan wahyu dan turunnannya sebagai paradigma dalam aktivitas ilmiahnya sehingga produk ilmu yang dihasilkan tidak akan terlepas dari pewahyuan dan turunannya.
Keniscayaan demistifikasi dalam kinerja metodologi sains Islam sangat dimungkinkan, karena tripatrik kosmos sebagai satu kesatuan tidak akan pernah mempertanyakan apalagi menapikan agama sebagai wahyu objektif bagi pendasaran paradigma sains Islam. Dalam hal ini dapat dikatakan pula bahwa bukankah manusia sebagai wahyu subjektif dan alam jagad raya sebagai kitab takwin pada prinsipnya berakar dari wayu objektif sebagai metakosmos.
Justru karena itulah agama dengan model demistifikasi tidak saja mendekatkan dan mengsinabmungkan teks dengan konteks, tapi juga memenuhi tuntutan relasi tripatrik yang memang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai subjek pengetahuan.
Demistifikasi sesunguhnya membuka kesempatan betapa ilmu Islam selalu terus dikembangkan bersentuhan dengan konteks masa dan tempatnya, karena konteks berada dalam kedinamisan, on going process. Baik pada realitas social maupun pisikal dan psikis, sedemikian rupa pengkajian sains juga akan selalu mengikuti dinamika di luar dirinya sehingga ia tidak tertinggal oleh tuntutan masa dan tempatnya. Oleh karena itu lah kajian sains yang berparadigma agama mutlak dilakukan bila tidak ingin agama ditinggalkan sebagaimana selama ini yang terjadi dalam peradaban moderen dimana agama ditepikan dari wilayah sains, bahkan peranan agama telah digantikan oleh temuan sains.
Dalam pengertian seperti inilah akan betapa pentingnya demistifikasi dalam metodologi sains, karena dengan metode seperti ini akan membentuk pandangan dunia para saintis ketika mereka melakukan aktivitas ilmiah. Pandangan dunia seorang ilmuwan dalam perspektif filsafat ilmu merupakan bagian yang amat menentukan cara kerja dan produk ilmu yang akan dilahirkannya
Adalah Gholshani dan kawan-kawan dari kelompok pertama seperti diungkapkan di atas sangat menekankan dan betapa menentukannya pandangan dunia seorang saintis dalam aktivitas keilmuannya. ada aspek inilah sesungguhnya membedakan sains Islam dengan sains moderen Barat seperti telah disinggung di atas.
Jadi demistifikasi, tidak hanya membentuk terbinanya kembali hubungan teks dengan konteks yang terwujud dalam pandangan dunia qur`anik, dan atau perealisasian relasi tripatrik mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos, atau wahyu subjektif, wahyu objektif dan kitab takwin, tetapi memungkinkan pula berkembangnya sains islam yang proaktif dan responsive terhadap dinamika lingkungannya. Sedemikian rupa pula akan meniscayakan peradaban Islam segera lahir kembali dengan wajah yang sangat berbeda dengan peradaban moderen Barat yang antroposentris, sekuleralis, materialistis bahkan atheis.
2. Integralisasi
Sejalan dengan semangat dan focus pada demistifikasi, maka integralisasi juga sejalan dengan itu bahkan dapat juga dinilai sebagai perpanjangan dari demistifikasi sebagaimana akan dipaparkan pada bagian ini.
Integralisasi itu sendiri secara pragmatis dalam konteks ilmu pengetahuan dapat dimaknai dengan upaya untuk menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pemikiran manusia sehingga tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan manusia Dengan demikian ilmu yang akan lahir dari integralisme tentunya berangakat dari agama ke teoantroposentrisme, kemudian ke dediferensiasi, terakhir lahir ilmu integralistik.
Pemahaman makna akan agama bila dipahami dari pendekatan peradaban tentu akan memiliki pemahaman makna yang amat berbeda ketika agama dipahami dengan pendekan substantif.. Untuk yang pertama agama akan dipahami dari sisi fungsionalitasnya, baik fungsi social maupun psikoligis agama baik bagi individu maupun social.sehingga aspek seperti struktur, system dan dan pengaturan social sebagai bentuk ujud agama mempengaruhi kehidupan umat. Sedangkan yang kedua agama akan dipahami paling tidak dari aspek makna dan kompleks makna yang dikaitkan dengan wujud-wujud transenden seperti ritus-ritus, hubungan manusia-Tuhan dan kekuatan adi kodrati.
Ilmu pengetahuan dan segala bentuk yang terkait dengannya dalam pemaknaan agama tentunya termasuk dari pehaman yang pertama yakni fungsionalisasi agama dalam ilmu pengetahuan atau sains sungguhpun persoalan yang termasuk pada pendekatan kedua tidak hilang begitu saja sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya Meskipun juga diakui bahwa pemaknaan agama pada pendekatan fungsionalisasi agama inilah sesungguhnya banyak mendapat kritikan dan tidak jarang makna substantif agama terkaburkan oleh makna funsgsional agama sebagaimana dirasakan oleh Islam hari ini
Dalam konteks pemaknaan pertama ini dapat diktakan pula bahwa sains merupakan bagian yang tidak terpisahkan pula dari pemaknaan agama, karena fungsi social agama tidak terbantahkan pula dalam ilmu pengetahuan yang dapat benar-benar sesuai dengan kepentingan umat manusia dan ridha Allah SWT.
Agama dalam hal ini adalah al-Qur`an dalam ilmu integralistik yang ditempatkan pada posisi awal atau dasar selain akan fungsi al-Qur`an sebagai pembentuk pandangan dunia, juga al-Qur`an berisi banyak petunjuk tidak saja terkait dengan masalah-masalah moral dan etika, namun juga memberikan petunjuk-petunjuk mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri, social dan dinamika fenomena social dihadapan manusia.. Bahkan dapat menjadi grand theory bagi sebuah ilmu pengetahuan setelah manusia memaksimalkan akal budinya mempelajari lingkungan social dan alam jagad raya dihadapannya, sekalipun al-Qur`an tidak dapat dikatakan sebagai kitab Ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama dan akal manusia merupakan sumber ilmu pengetahuan, sebagai sumber ilmu pengetahuan tentu orientasi pencarian dan pemahaman dan pengembangan ilmu akan mengarah pada dua kepentingan; manusia itu sendiri dan Tuhan. (Teoantroposentris)
Demikian pula apa yang disebut dengan dedifrensiasi yang pada dasarnya mendukung dan selaras dengan semangat demistifikasi. Melalui dedifrensiasi segala bentuk dikhotomi dan autonomisasi ilmu tidak akan lagi muncul, justru sebaliknya semua disiplin ilmu pengetahuan akan saling terkait satu dengan lainnya terutam ketika dalam pemanfaatan alat-alat epistemic dalam pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam kerangka dedifrensiasi agama akan dapat menjadi kerangka untuk tolak ukur kebenaran suatu ilmu (benar-salah) bagaimana ilmu diproduksi (baik-buruk), Tujuan ilmu (bermanfaat–merugikan), bahkan juga memberikan dorongan objektivikasi ilmu pengetahuan yang ditandai dimana pemeluk non Islam akan merasakan gejala keilmuan objektif semata, tetapi bukan sebagai dogma.
Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif bukan sebagai ilmu yang normative sehingga produk ilmu seperti ini tidak menjadi partisipan sekalipun kepada umat Islam sebagai produk dari sains Islam. Sebaliknya ilmu itu harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya.
Jadi dengan integralisme menjadikan dikhotomis dan sekulerisasi ilmu akan terhindar karena dengan integralisme semua disatukan dalam satu kesatuan baik dari sisi pandangan duni, metodologi dan aksiologi
3. Objektifikasi
Objektivikasi itu sendiri sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perilaku dalam ajaran Islam. Banyak ayat al-Qur`an dan hadis Nabi SAW langsung atau tidak, menuntut perilaku objektif Muslim dituntut untuk tidak berperilaku mendiskriditkan non muslim dan siapa saja.
Perilaku objektif ini dapat dilihat misalnya dalam dua sisi, yakni objektif fasif dan objektif aktif. Pertama menuntut Muslim untuk tidak berperilaku zalim dan tidak adil sesama manusia. Muslim dituntut berperilaku tidak memaihak ketika ada sesuatu yang disodorkan kepadany. Sedangkan yang kedua muslim dituntut untuk menegakkan keadilan amar ma`ruf wa nahyu al-mungkar. Pada perilaku objektif ini muslim dituntut mampu menjdikan dirinya sebagai rahmatan li `alamin. Surat al-Anbiya` ayat 107 memerintahkan muslim berperilaku objektif
Dalam konteks ilmu pengetahuan tentunya sains Islam sebagai sebuah aksi ilmiah yang terakumulasi lahirnya sains sebagai produk aktivitas ilmiah tentu dituntut sains yang dilahirkan adalah sains-sain yang membawa misi dalam bentuk objektifikasi baik pasif apalagi aktif. Sedemikian rupa dengan sains seperti ini akan meniscayakan hilangnya dominasi dan sekulerisasi sains seperti pada sains moderen Barat.
Sains moderen Barat yang melahirkan sekulerisasi terlihat jelas dari pengakuan metodologinya yang hanya mengakui bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah konsekuensi logis oleh gejala objektif. Di sini yang ditekankan bahwa suatu peristiwa dilihat sebagai akibat daru kondisi objektif yang diposisikan sebagai sebabnya, sehingga tidak ada ruang untuk melihat unsure lain dari suatu peristiwa. Sedemikian rupa agama dan fenomena social lainnya akan ditepikan dan dinafikan keniscayaan keikutsertaannya ketika didapati kondisi objektif sebagai penyebabnya suatu peristiwa. Inilah proses lahirnya sekulerisasi ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan sekulerisasi, objektivikasi sains Islam bermula dari internalisasi nilai tidak dari subjektifikasi kondisi objektif seperti pada sekulerisasi. Dalam kinerja metodologis sains Islam akan dilakukan penjelanjahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Sehingga perilaku yang dirasakan oleh orang-orang dari agama lain adalah sebagai sesuatu yang natural tidak sebagai sebuah ajaran agama. Sekalipun bagi pelakunya terhitung sebagai amal.
Dalam internalisasi dan eksternalisasi ini lah sains Islam dalam perlakuannya terhadap alam dan fenomena social akan terpandu paling tidak dalam dua perlakuan yakni; Pertama umat manusia harus mengubah alam ke dalam pola-pola Tuhan, atau mengatur kembali material-materialnya agar sempurna dan bermanfaat bagi manusia, material-material, moral, intelektual dan estetika. Kedua; Dalam mengubah alam ini manusia harus mendahulukan nilai-nilai etika dengan memilih untuk menkuni aksi-aksi transformasi dengan cara-cara etis, atau dengan pengertian lain dengan bentuk penyempurnaan pengabdian kepada Allah SWT dan berbuat adil sesama manusia.
Dari uraian di atas sangat terlihat bahwa objektifikasi dalam sains akan menghindarkan sains seperti ini dari sekulerisasi dan dominasi sebagaimana yang terjadi pada sins Barat moderen. Pengembangan ilmu dalam Islam tentunya tidak lagi sebatas wacana normative dari sudut pandang Islam tetapi merupakan sebauah objektifikasi tidak saja pada wilayah epistemology tetapi juga pada wilayah aksiologi. Disinilah dikatakan bahwa pencarian sains yang diupayakan melalui objektifikasi Islam akan melahirkan ilmu pengetahuan objektif, sehingga benar-benar dapat manfaatnya oleh seluruh umat manusia dan menjadi rahmatan li `alamin. Begitu pula produk ilmu yang dihasilkannya akan semakin mendekatkannya kepada Rabb `Izati
D. Kesimpulan
Mengingat metodologi sains sangat menentukan apa corak dan bagaimana kinerja aktivitas ilmiah dan produk ilmu yang akan dihasilkannya, maka keingian untuk melahirkan sains –sains islam sebagai produk akal budi para sarjana terlebih dahulu diciptakan. Sedemikian rupa nantinya sains-sains Islam terbebas dari sekulerisasi dan dominasi serta anti nilai sebagaimana terjadi pada sains-sains barat moderen saat ini.

1 komentar: